Obrolan Hari Ini – Sebuah Kesadaran


Hari ini, saya ditelpon oleh seorang teman lama. Kenapa menyebutnya teman lama bukan seorang sahabat?
Karena walau sebelumnya kami melangkah ditempat yang sama, tapi tidak terlibat kegiatan yang membuat kami saling mengenal cukup dalam.

Entah kenapa, kemudian kami sempat bersinggungan dalam sebuah hubungan yang unik. Mungkin, itu efek dari kesadaran kami yang saling melongok tanpa kami sadari pada waktu itu.

Setelah sekian tahun tidak mendengar kabar satu sama lain, lingkungan pertemanan dan teknologi terkini kembali membuat kami saling bertegur sapa.

Mengungkit cerita lama.
Mengobrol segelintir keadaan masing-masing kami saat ini. Saya sempat menyampaikan kalau sebelumnya saya berpikir kalau dia sudah jadi seorang diplomat.

Dia tertawa karena saya lupa kalau dia bukan orang HI.

Saya kemudian justru tertarik dan bertanya lumayan banyak tentang perjalanan spritual yang dilaluinya.

Sebuah Kesadaran

Secara, dari status-status singkat yang ditulisnya di media sosial yang sempat saya baca, sepertinya itu justru menuai beberapa respon tidak sepakat dari orang-orang terdekatnya. Karena bertentangan dengan pendapat kebanyakan. Tapi tidak ada penjelasan yang lebih terperinci dari si teman.

Sebelum berbicara dengan orangnya langsung, saya tidak mau menduga-duga dan syok tahu.

Apalagi sudah bilangan tahun tidak mengetahui kegiatan masing-masing.

Entah sosok seperti apa teman lama ini sekarang.

Karena sebelumnya saya juga sempat kepentok ke beberapa perkumpulan dalam rangka ‘pencarian’, yang akhirnya membuat saya justru merasa semakin sangat jauh dari kata ‘baik’ konseptual.

Saya punya sahabat yang berbeda keyakinan.
Saya punya teman yang berpindah keyakinan.
Semua tidak saling mengusik karena saling menghormati batasan masing-masing.

Semua sudah dewasa dan tentunya sudah dengan kesadaran penuh dan pemikiran matang dalam membuat sebuah pilihan yang sangat prinsip itu dalam hidup.

Tapi saya juga merasa terusik dengan ‘sesama’ yang memandang rendah saudaranya yang lain.

Orang lain bisa begitu bertoleransi dalam keberagaman. Walau mereka ada dalam aliran yang berbeda, tapi jika induknya sama, mereka akan tetap bergendengan tangan. Hingga mereka sangat solid.

Kenapa kita tidak?

Entahlah.

Mungkin hal itu saya rasakan karena saya masih sangat-sangat kurang dalam belajar. Masih setengah-setengah. Harus bertemu seorang guru yang membuat saya patuh.

Saat hati dan pikiran tidak bisa diajak saling berkompromi, saya merasa menjadi seorang munafik yang duduk bersimpuh hanya karena alasan ga enak.

Atau daripada mulut saya mempertanyakan apa yang seharusnya dilihat dan didengar saja.

Saya akhirnya lebih sering menjauh.

Seperti itu, gimana mana mau dapat ilmu?

Masih harus berusaha lebih keras lagi.

Saya sangat percaya bahwa teman yang menelpon mempunyai perjalanan spritual yang jauh sangat panjang daripada pencarian yang sudah saya lakukan.

Dia ternyata sedang mempunyai kegundahan terhadap etik diskusi agama di media sosial yang kurang menggunakan bahasa damai yang sebenarnya merupakan implementasi ajaran dari keyakinan yang kami yakini.

Bagaimana orang-orang yang sedang dalam pencarian bisa lebih mendekat, jika yang disebarkan hanyalah nada kebencian?

Teman saya ingin membuat perubahan.

Saya bilang, dia harus punya jabatan dan kekuasaan agar perubahan itu cepat terlihat hasilnya. Saya juga menyarankan agar dia menuliskan pemikirannya hingga bisa dibaca runut, tidak sepotong-sepotong.

Karena sudah sangat lama tidak berbincang, percakapan kami jadi loncat sana sini. Satu setengah jam ga begitu terasa.

Setelah ngobrol usai, saya baru ingat kalau si teman adalah seorang pendidik.

Saya lupa menambahkan saran alternatif untuk kegundahannya itu. *Semoga dia membaca tulisan ini*.

Akan sangat mudah bagi seorang pendidik untuk memulai perubahan itu dari pola pikir di dunia pendidikan yang digeluti. Tinggal membuka pemikiran-pemikiran anak-anak muda yang dalam masa pencarian itu. Bukan mendoktrin, tapi menumbuhkan sebuah rasa penasaran yang akan membuat mereka mencari tahu.

Entahlah. Ini mungkin hanya pemikiran sederhana saya.

Pesan moralnya, dengan seringnya mengobrol apa yang jadi kegundahan dengan berbagai kalangan dari lingkup pertemanan, kita jadi belajar melihat semuanya dari sudut pandang pemikiran orang lain.

Sekali lagi sebuah kesadaran menghampiri saya, bahwa apa yang menjadi status di media sosial, tidak sepenuhnya bisa menjadi rujukan bahwa itu adalah gambaran utuh pemikiran seseorang. Mungkin saja itu hanya sebuah suara sayup-sayup dari relung terdalam labirin pemikirannya.

Harus selalu belajar jadi pendengar yang baik.

Temans, hari ini, dalam obrolanmu dengan orang-orang sekelilingmu, kesadaran apa yang datang melintas dipikiranmu?

13 comments

  1. Setuju, dg bnyak berbincang dg tmn trutama yg beda profesi, jd lbh paham dg dunia mereka dan tentunya, bagi aku nih mbk, jd gk gampang berpikirn negatif ttg dunia yg ditekuni org lain
    Nice share, renungan yg mantab di pagi hari

    Disukai oleh 1 orang

    • Iya, kenapa harus berpikir negatif tentang kegiatan orang lain ya, padahal kita hanya melihatnya dari kejauhan. Itu namanya nyari penyakit sendiri buat jiwa 🙂

      Suka

  2. kalau teman mbak apapun dia tetap teman kok mbak, saya ada juga mbak teman pindah keyakinan tp namanya teman yah tetap teman saya

    Suka

  3. Kadang orang hanya ingin didengarkan kok. Karena saat kita ngasih waktu kita untuk orang lain, dia merasa berharga. Dia nggak butuh saran dari orang lain.

    Suka

    • Hanya perlu didengarkan yaa.
      Seorang sahabat tidak perlu diyakinkan begitu keras dengan beribu alasan. Bahkan saat dalam diampun sudah bisa meraba kegundahan yg tersimpan.

      Suka

Terima Kasih Untuk Jejakmu, Temans :)

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.