Bulan suci Ramadahan dan Hari Raya (Lebaran) Idul Fitri tahun 2020 di masa pandemi kali ini, sungguh berbeda suasananya dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Pelaksanaannya #DiRumahAja (di rumah masing-masing) , akan tetapi kualitasnya mudah-mudahan tetap yang terbaik. Insya Allah.

Catatan Ramadhan dan Lebaran 2020 YSalma
Tulisan ini semacam ‘dokumentasi’ yang dilihat dari kaca mata seorang emak dalam keluarga kecilnya. Bahwa pada masa pandemi virus Covid 19, mulai pertengahan Maret 2020 hingga bulan Ramadhan dan 1 Syawal 1441H, hampir semua kegiatan dilakukan di rumah saja.
Alhamdulillah, kami semua ‘anak rumahan’ sehingga tidak terlalu banyak keluhan yang terucap. Prinsipnya, patuhi dan jalani seruan protokoler untuk memutus mata rantai penyebaran si virus, agar semua cepat kembali membaik.
Yang agak butuh penyesuaian di awal-awal hanyalah Bapak Kepala Keluarga, karena terbiasa ‘beredar’ di luar rumah.
Tapi, setelah mulai merasa ribet dengan prosedur masuk rumah, cuci tangan, ganti dan rendam pakaian, mandi, serta semakin tersadar bahwa sudah masuk usia dengan daya tahan tubuh yang mungkin saja rentan terhadap paparan si virus, akhirnya memilih diam di rumah jika tidak ada keperluan mendesak.
#DiRumahAja apa ada yang patut dicatatkan?
- Lebih Rajin Memasak. Selama Ramadhan, Masakan Sendiri Terasa Lebih Nikmat
Lidah orang-orang di rumah termasuk yang tidak terlalu merepotkan untuk urusan makan. Lebih tepatnya, selama ini mereka pada ga tega melihat yang masak sudah kecapean, tapi rasa masakan setelah dicicipi jauh dari ekspektasi. Maka lebih baik membeli atau memesan makanan jadi saja pada penjual yang sudah diketahui rasanya, alias sesuai dengan harganya, ‘ada harga, ada rasa’. Sehingga tidak akan bikin kecewa saat menyantapnya.
Akan tetapi, selama di rumah pada masa pandemi ini, semua lebih yakin menyantap masakan sendiri. Masak yang mudah-mudah saja, ada beberapa yang sudah dicatatkan resepnya sebagai contekan di blog ini, sebut saja tempe orek, perkedel jagung, ayam kecap, dimsum, dan lainnya. Alhamdulillah, semua membuat makan saat berbuka dan sahur tetap semangat.
Apalagi selama bulan Ramadhan, berbuka dengan air putih biasa aja terasa nikmat. Apalagi minum air campur sirup yang dikasih berbagai buah di dalamnya, seperti potongan melon, blewah, apel, pir, cincau, nata de coco, dan diminum setelah didinginkan di kulkas. Terasa sangat sueger.
Bahkan, jika minum es buahnya saat berbuka ditemani camilannya perkedel jagung, atau bola-bola ubi, atau pisang keju, nak bujang ga bakal makan nasi lagi. Hanya makan dikit pada waktu sahur.
Bulan Ramadhan sebelum-sebelumnya, es buah ala-ala itu biasanya akan berselang seling dengan es kelapa, atau es buah beli.
Tapi, di Ramadhan tahun ini, pernah nyoba sekali beli es kelapa (kelapa muda utuh, dikerok, campur air gula dan es batu). Tapi yang membelah dan mengerok kelapa, minta tolong penjualnya. Kenikmatan saat meminumnya terasa berkurang. Ga langsung ludes seperti sebelum pandemi. Mungkin karena minumnya sembari kepikiran, air kelapanya kena ‘droplet’ orang lain ga?
Padahal, es buah ala-ala yang saya bikin saat bulan Ramadhan, potongan beberapa buah hanya dicampur sirup, air dingin, dan es batu itu, kalau dinikmari di luar bulan Ramadhan, segelas aja bakal susah ngabisinnya 😳
Ga perlu pembuktian orang lain untuk memperkuat teori bahwa ada tambahan nikmat saat menyantap makanan selama di bulan Ramadhan.
Saya dan keluarga sudah sering membuktikannya.
Pada 1 Syawal, setelah shalat Ied di rumah aja, sisa beberapa buah yang masih ada, saya potong-potong dan buat minuman seperti untuk berbuka pada bulan Ramadhan. Anggota keluarga hanya nyicip sedikit, dengan alasan “es buahnya terasa aneh, ga senikmat waktu diminum saat buka puasa 😛 “.
Terpaksalah saya yang ngabisin itu minuman. Hiks.
Nikmat bulan Ramadhan mana lagi yang masih dipertanyakan?
- Nak Bujang Jadi Imam Shalat Tarawih dan Ied
Ramadhan dan lebaran 2020 di masa pandemi ini membuat nak bujang belajar menjadi imam untuk sholat Tarawih dan imam sholat hari raya Idul Fitri di rumah.
Kenapa menjadi imam kedua shalat itu menjadi catatan penting?
Itu karena menjadi imam pada sholat biasa di lingkup terkecil sudah pernah dia lakukan sebelumnya (bersama keluarga inti, atau tugas di sekolah).
Walau bacaannya belum menggunakan irama, tapi bacaannya yang paling baik di rumah. Mudah-mudahan ini menjadi penyemangat untuk belajar terus.
Menurut pengakuan nak bujang, mengimami sholat Tarawih dan sholat Idul Fitri perlu kosentrasi lebih. Walau menjadi imam di keluarga sendiri, Dia masih keder membaca hafalan surat yang panjang, takut lupa dan makmumnya ga ada yang bisa mbenerin 😳 .
- Pembelajaran Selama Ibadah Ramadhan Di Rumah Aja. Berpakaian Ala Kadarnya? Jangan!
Oiya, walaupun sholat tarawih dan sholat Ied di rumah saja, kami tetap menggunakan ‘pakaian terbaik’ yang dipunyai. Sebab, tidak setiap sholat 5 waktu itu bisa mandi dulu dan memakai pakaian yang ‘pantas’. Teman hidup sih selalu mengganti pakaian dengan baju muslim dan sarung untuk sholat. Saya, seringnya menggunakan pakaian rumahan di balut mukena dan bawahannya saja.
Ini termasuk hasil pembelajaran selama beridah di rumah saja. Sebelumnya, sempat agak abai juga.
Sholat Tarawih adanya di bulan Ramadhan, tidak ada setiap waktu. Sholat Idul Fitri hanya sekali setahun. Iya kalau diberi kesempatan bertemu lagi, kalau tidak? Ini merupakan Ramadhan dan sholat Ied terakhir 😥 .
Logika sederhana lainnya, jika sholatnya ke masjid, biasanya menggunakan pakaian yang pantas.
Itu sebenarnya untuk siapa? Untuk dilihat orang lainkah?
Maka di masa pandemi ini, sholat Tarawih dan sholat Ied di rumah saja merupakan waktunya untuk evaluasi diri tentang kebiasaan menggunakan pakaian terbaik yang digunakan untuk sholat.
Ini sebenarnya termasuk ‘ujian’ dan perlu tekad juga saat melakukannya bagi saya pribadi.
Sisi diri satunya berpendapat, ‘ga ada yang ngelihat ini, keluarga ini. Ngapaian repot-repot berpakaian pantas. Yang penting bersih kan? Nambah-nambahin cucian aja’.
Sisi diri lain mengingatkan, “Apa hanya sebegitu pemikiranmu untuk menghadap Sang Khaliq, ketika tidak dilihat oleh sesiapa? Bahkan, ketika ber-video call dengan kenalan, teman, atau keluarga beda rumah, kau malah menyempatkan diri untuk berdandan, agar terlihat pantas. Apa waktu menghadap Sang Pemilik Segalanya, tapi tidak di bawah tatapan manusia lain, DIA kau temui dengan penampilan seadanya saja? Pakaian yang bahkan untuk kau bawa ke tukang sayur pun sungkan memakainya? Bukan tuntutan pakaian baru, lho. Tapi menggunakan pakaian terbaik yang kau punya dan terlipat di dalam almari pakaianmu. Yang dengan pakaian itu, jika sedang bersosialisasi dengan manusia lain, kau tidak merasa ditatap aneh oleh mereka. Apakah melakukan itu untuk Sang Khaliq, Pemilik Semua yang kau aku punyai di dunia ini, terasa begitu berat?” #SelfRemainder.
- Gak Membuat Menu Spesial Lebaran
Karena rutin memasak lebih dari dua bulan, di hari terakhir bulan Ramadhan badan saya terasa agak lebih capek. Saya pun bilang pada anggota keluarga untuk tidak membuat menu lebaran seperti ketupat dan kue kering. Beli bahan-bahannya aja, ntar bikinnya setelah lebaran.
Mereka pada bilang ‘terserah’ ketika dimintain pendapat seperti itu.
Tanggal 22 Mei 2020, saya sempat bikin rendang sedikit, bisa untuk lauk sahur dan buka hari terakhir puasa. Bahkan masih bisa untuk makan siang di hari lebaran.
Sehari sebelum lebaran, tanggal 23 Mei 2020, karena sudah punya lauk rendang, untuk buka hari itu hanya perlu membuat tambahan sayur. Paginya, saya menyempatkan untuk bikin agar gula merah. Setelah itu lanjut bikin kue kering, kue semprit jadul.
Ternyata, masih banyak waktu tersisa, belum masuk waktu dzuhur, badan juga ga capek-capek amat. Ketika mau lanjut untuk bikin kue nastar, saya baru ngeh kalau takaran pesanan butter ga sesuai catatan. Butter sudah habis dipakai untuk buat kue semprit jadul, mana toko bahan kue sudah pada tutup. Yo udah, kue keringnya cukup kue semprit jadul aja. Sesuai dengan niat awal, ga bikin menu spesial lebaran. Malahan itu sudah ada agar-agar dan bonus satu jenis kue kering yang jadi 😆 .
Pagi di hari lebaran, tukang makan di rumah pada nyelutuk, “ketupatnya benar-benar ga jadi dibikin? Buka pagi di hari lebaran terasa kurang afdol dong”.
Jadi, jawaban terserah ketika dimintain pendapat kemarin-kemarin itu, maksudnya apa? 😳 .
Tapi, memang berasa ada yang kurang, kalau lebaran tanpa ada camilan spesial yang menjadi suguhan, camilan yang ga selalu dibuat pada hari biasa. Lontong buatan sendiri itu tetap terasa spesial.
Pesan moralnya, jika nanti kau diberi kesempatan bertemu bulan Ramadhan dan Hari Raya Idul fitri lagi, juga mempunyai kemampuan untuk menyuguhkan beragam menu di meja makan keluargamu, ingatlah, mungkin di luar sana ada keluarga yang tak bisa menikmati hidangan spesial seperti itu. Bersyukurlah.
Karena masih ada stok pasta dan sausnya, akhirnya pagi di hari lebaran Idul Fitri 2020 kemarin itu, saya masak spaghetti.
Kata nak bujang, “ini menu lebaran anti mainstream” 😆 .
Alhamdulillah, padahal, rencana awalnya hanya mau masak mi instan aja 😳 .
***
Ini sekulimit catatan kisah yang saya dan keluarga lalui selama Ramadhan dan Idul Fitri 2020 di masa pandemi.
Bagaimana dengan bulan Ramadhan dan lebaranmu, Temans? Semoga lebih baik ya.
Taqabbaallahu minna wa minkum.
Selamat Hari Raya Idul Fitri 1441H.
Mohon Ma’af Lahir Bathin untuk semua tulisan yang kurang berkenan kata-katanya.
Selamat hari raya Idul Fitri juga ya..
Mohon ma’af lahir bathin.
salam dari Melbourne
SukaSuka
Terima kasih ya.
Salam kembali 🙂
SukaDisukai oleh 1 orang
Minal aidzin wal Faidzin mbak
Lebaran taun ini memang bener bener berbeda, nggak mudik kemana mana. Di rumah aja
Masakan dan kue lebaran juga nggak ada yg spesial, ibuku masak seperti biasa aja. Paling untuk kue ujung ujungnya dimakan sendiri hehe
SukaDisukai oleh 1 orang
Terima kasih ya, mba.
Ucapan yang sama untuk mba Ainun.
Lebarannya yang spesial tahun ini ya 🙂
SukaSuka