Catatan Pulang Kampung Mendadak, Perjalanan di Masa Pandemi New Normal


Senin, 12 April 2021, sehari sebelum bulan suci Ramadhan, saya harus melakukan perjalanan mendadak dengan menggunakan transportasi udara. Pulang berdua ditemani nak bujang untuk melayat, sebagai perwakilan ibunda. Tulisan ini merupakan sebuah catatan perjalanan ke Sumatera yang singkat, tapi karena dilakukan saat keadaan dinyatakan ada wabah corona, masa pandemi, situasi perjalanan seperti naik roller coaster.

Pulang Mendadak Karena Berita Duka

Pada hari Minggu siang, saya mendapat telepon dari adek yang berada di Kepulauan Riau. Dia mengabarkan bahwa kakak sepupu laki-laki yang sebelumnya sudah masuk ruang perawatan rumah sakit di ibu kota kabupaten di kampung, telah berpulang ke rahmatullah. Adek dapat kabar dari anak tertuanya (ponakan saya) yang kuliah di Padang kota dan baru sampai di kampung.

Saat teleponan itu, saya memastikan pada adek, apakah ibunda sudah mengetahui kabar duka tersebut. Adek bilang belum, karena ibunda sedang tidur.

Foto bandara Soetta dari atas

Saya berpesan agar saat nanti menyampaikan, pelan-pelan. Sebab, saat saya teleponan dengan ibunda di pagi sebelumnya, terdengar ada semangat di nada suara beliau kalau ponakan beliau itu akan beranjak sembuh. Karena sudah bisa tidur, tidak mengeluh sakit perut lagi.

Karena kondisi telinga saya yang semenjak gendangnya mengalami robek akibat flu, lebih sensitif terhadap suara, kurang bisa diajak menerima telepon. Terasa sakit kalau ponsel didekatkan ke kuping.

Makanya, kalau saya merima telepon, speaker nya harus pada posisi on. Berbicara seperti itu kalau di telepon saat berada di tempat umum sungguh tidak nyaman, orang sekeliling bakal mendengar semua isi percakapan. Berisik juga untuk mereka.

Dengan kondisi saya yang seperti itu, maka tugas adek lah untuk berkomunikasi melalui telepon dengan saudara-saudara di kampung. Saya menerima update informasi dari adek by WA.

Perwakilan keluarga inti ibunda di kampung sebenarnya sudah ada, dua orang cucu laki-laki, dan satu kakak sepupu laki-laki yang memang menetap di kampung. Sudah sangat cukup mewakili, karena kondisi tempat tinggal yang berjauhan, masa pandemi lagi.

Setelah saya perkirakan ibunda sudah bangun, saya kembali menelopon adek dengan video call, untuk memastikan kondisi ibunda setelah mendengar kabar ‘anak laki-laki tertuanya’ sudah berpulang. Ibunda ternyata syok. Beliau yang seringnya menangis dalam diam, sekarang meraung.

Oiya, ibunda adalah anak bungsu, tiga kakak perempuannya sudah berpulang lebih dulu, dua kakak laki-laki juga sudah berpulang. Kakak perempuan pertamanya meninggalkan satu anak lelaki, yang sekarang berpulang. Kakak perempuan keduanya dulu meninggalkan tiga anak lelaki saat masih usia sekolah.

Karena Sumbar menganut garis keturunan ibu, anak-anak laki-laki dari kakak perempuannya itu sudah dianggap seperti anaknya sendiri. Walau dia tidak banyak berucap seperti ibu-ibu lain.

Kebetulan, sekitar setahun yang lalu, salah satu anak lelakinya itu juga sudah berpulang di perantauan, di daerah Jambi. Kondisi beliau yang sudah sepuh, membuatnya tak bisa hadir di rumah duka.

Jauh sebelumnya, salah satu anak lelakinya juga sudah berpulang di daerah Bengkulu. Saat itu kondisi ibunda masih bugar, beliau hadir ke sana dengan kakak sepupu laki-laki yang baru berpulang ini.

Saat bapak berpulang, ibunda melepasnya dengan ikhlas. Beliau justru mengkhawatirkan kondisi saya.

Ketika kakak sepupu yang di Jambi meninggal, respon beliau juga ikhlas, sudah sampai usia yang diberikan Allah.

Saat sekarang, kakak sepupu laki-laki tertua meninggal, beliau meraung. Adek yang dekat ibunda di Kepulauan Riau, kebingungan. Saya yang ada di tanah rantau di Jawa Barat, hanya bisa menguatkan lewat telepon.

Setelah dipikir-pikir, sangat wajar ibunda lebih syok saat kehilangan kakak sepupu laki-laki yang tertua ini. Si kakak adalah teman seperjalanan dan teman diskusi ibunda selama ini, untuk semua momen anak laki-laki lainnya.

Sebab, usia saya dan adek, serta satu kakak sepupu laki-laki yang masih ada, lumayan jauh dengan si kakak satu ini.

Ibunda sekarang ini mengungkapkan rasa kehilangannya sama seperti saat beliau kehilangan kakak perempuan keduanya. Merasa ditinggalkan sendirian.

Beliau meminta salah satu dari anak perempuannya untuk pulang, hadir ke rumah duka dan melihat kuburan si kakak sepupu.

Melihat respon beliau terhadap berita duka yang diluar dugaan, takutnya rasa sesak di dadanya ga tuntas kalau hanya diwakili oleh anaknya. Saya menyarankan agar beliau yang pulang dengan adek. Anak-anak adek di sana, bisa lah di-handle sama adik ipar. Ibunda dan adek sempat setuju.

Tapi, kondisi ibunda yang syok mendengar kehilangaan anak laki-laki, semakin tampak lemas, ga mau makan, hanya tiduran.

Situasi covid, perjalanan mendadak, saya sendiri juga agak ragu dengan kondisi kesehatan diri sendiri.

Setelah bolak-balik berkomunikasi melalui telepon dan video call, menimbang situasi, diputuskan lah saya yang pulang.

Nak bujang mengingatkan kondisi telinga saya saat nanti di pesawat, serta hidung sebelah kiri yang sering mampet.

Saya juga sempat cemas. Teman hidup bilang, telingannya ditutup dengan kapas atau headset.
Melihat kondisi saya yang juga bakalan ga bisa tidur, alamat ga fokus di jalan, teman hidup mengusulkan agar saya pulang berdua dengan nak bujang. Adek dari Kepri juga menyarankan hal yang sama.

Prosedur Terbang Masa Pandemi, Swab Test Antigen Negatif

Saat saya sibuk berkomunikasi via telepon dengan adek itu, nak bujang udah mulai nyari-nyari tiket pesawat di penyedia layanan online.

Tiba-tiba di daerah tempat tinggal hujan lebat. Listrik di perumahan mati, otomatis wifi juga mati. Sinyal dari kuota internet kartu ponsel saya dan nak bujang ga ada yang connect. Ponsel teman hidup yang ada terhubung sinyal sedikit dan lelet. Adek di Kepri akhirnya saya mintain untuk browsing ngecek ketersediaan tiket pesawat.

perjalanan masa pandemi berdua

Karena sehari menjelang bulan suci Ramadhan, pergerakan tiket pesawat lumayan cepat.

Tiket pesawat di sore Minggu itu masih ada, tapi sudah ga keuber ke bandara dari tempat tinggal saya. Untuk tiket hari Senin, adanya yang penerbangan sore.

Setelah diskusi, saya ambil penerbangan Senin sore, 16.30 WIB dari Soetta dan perkiraan nyampai bandara Minangkabau pukul 18.15.

Pemberitahuan dari penyedia layanan penjual tiket, saya mungkin memerlukan hasil swab PCR/Antigen Negatif agar bisa terbang.

Beuh, perjalanan mendadak gini, kemana pula mau swab kalau bukan pilihan yang tersedia di bandara.

Nak bujang ngecek ulang tiket yang sudah dipesan. Ternyata maskapainya menyediakan swab antigen gratis di bandara, dan harus ambil voucher dulu. Untuk amannya yang mau test harus melakukannya 4 jam sebelum keberangkatan.

Tempat rapid test antigen di terminal 1 B, sementara nanti terbangnya melalui terminal 2D. Kalau bolak balik ambil voucher dari dua terminal tersebut, lumayan repot dan makan waktu.

Nak bujang mencari info tentang pilihan mendapatkan voucher rapid di bandara tanpa harus bolak -balik antar terminal. Ternyata vouchernya bisa diambil juga secara online. Satu keriwehan teratasi dalam perjalanan sebagai wakil penyampai rasa duka.

‘Drama’ Perjalanan New Normal, Bandara Sepi dan Lengang

Semua kebutuhan saya dan nak bujang selama perjalanan ini, saya packing di ransel masing-masing. Nak bujang minta setidaknya 5-7 hari di kampung, Saya jawab lihat kondisi. Ransel bawaan dapat dibawa sebagai bagasi kabin ke dalam pesawat.

Walau pesawat ke Padang tiketnya pukul 16.30 jika sesuai schedule, agar ga berasa diburu-buru waktu saat menuju bandara, saya berangkat dari rumah pukul 9 pagi.

Senin 12 April, hari kerja, hari terakhir sebelum bulan suci Ramadhan. Jalanan menuju terminal bus bandara lumayan padat. Orang kerja, orang mempersiapkan kebutuhan menyambut Ramadhan. Kami baru nyampai terminal pukul 10.10 WIB. Biasanya bisa ditempuh dalam waktu 20 menit.

Karena melihat ada bus bandara yang standby, teman hidup yang mengantar, entah hanya karena baru ngopi, belum sarapan lain, ga sepertinya biasanya, main langsung jalan. Bukan nungguin, memastikan tiket busnya. Walau kita memang sudah salim-salim dkknya.

Saya yang menuju loket penjual tiket yang langsung di sambut dengan ucapan, “Ibu ke sini diantar, atau naik travel. Bus yang jam 10 udah jalan. Ibu penerbangan jam berapa?”

Saya menoleh ke tempat tadi teman hidup nurunin kami, baru saya ngeh kalau dia juga sudah jalan, “diantar sih, tapi suami saya udah jalan. Pesawat pukul 16.30. Tapi saya belum test antigen. Naik bus berikutnya memangnya jam berapa?”

Petugas loket bus menunjukkan wajah menyesal, “schedule jam 11 sih, bu. Tapi takutnya ga keuber untuk perjalanan ibu. Bisa-bisa sampai bandara pukul 2 an. Mending ibu nyusul aja, saya coba hubungi sopir yang baru berangkat agar jalan pelan. Kalau bisa nyusul, ntar ibu naik di depan taman Wiladatika Cibubur.”

Bahasa halusnya, petugas ga mau dimisuh-misuhin sama penumpang dalam kondisi sepi begini. Karena rentang waktu pemberangkatan penumpang kurang aman, mana belum megang hasil swab negatif. Mending calon penumpang jalan sendiri ke bandara. Hiks.

Nak bujang saya minta telepon bapaknya, ngasih tahu kalau kami ketinggalan bus ke bandara yang jam 10.

Sekitar 5 menitan, teman hidup udah nyampai di terminal bus.

Saat keluar terminal, menuju jalan Transyogi Cibubur mulai tersendat. Kami mulai deg-deg an. Komat kamit berdo’a agar perjalan lancar.

Baru pertengahan jalan menuju titik nyusul bus, sudah hampir pukul 11.

Melihat kondisi jalan yang merayap, teman hidup semakin yakin ga bakal bisa nyusul bus yang udah jalan itu.

Teman hidup memilih untuk mengantar kami langsung menuju bandara lewat tol baru Jatikarya yang terhubung dengan jl. Alternatif Cibubur Transyogi. Ternyata, tol dalam kota juga tersendat. Pasrah.

Alhamdulillah, setelah Semanggi tol lancar. Kami nyampai bandara Soetta sekitar pukul setengah satu. Terminal 1 tampak lengang. Kami kompak bergumam, “mungkin yang ramai di terminal 2 dan 3.”

bandara soetta sepi lengang
bandara tampak sepi

Kami memastikan tempat rapid test pada petugas yang berjaga di pintu masuk terminal 1. Teman hidup menuju arah yang ditunjukkan, menepi, dan minta saya untuk memastikan bus shuttle beroperasi atau tidak pada seorag petugas yang berjaga di situ.

Kebetulan ada satu bus shuttle yang sedang menaikkan penumpang di jalur sebelah. Petugas langsung menunjuk bus tersebut untuk jawaban pertanyaan saya.

Teman hidup berubah pikiran, dia memilih menunggu saya dan nak bujang hingga selesai rapid test.

Saya dan nak bujang menuju shelter Kalayang terminal 1B untuk Rapid Test Antigen. Di kaca tertempel kertas, hanya untuk penumpang di atas 2 jam sebelum terbang.

Petugas yang berjaga di pintu masuk juga memastikan saya penumpang pesawat jam berapa. Setelah bilang pukul 16.30, baru saya dan nak bujang diberi nomor antrian dan dipersilahkan menunggu di tempat yang disediakan.

Tiba giliran kami. Diminta tanda pengenal dan voucher untuk test antigen. Dipersilahkan ke meja berikutnya, antri untuk diambil sample cairan hidung yang lumayan mengeluarkan air mata saat prosesnya.

Setelah itu nunggu sekitar 20 menit, dipanggil dan diserahkan hasil rapid test antigen. Alhamdulillah negatif. KTP yang tadi ditahan di meja pendaftaran pertama juga diterima.

Lanjut menuju terminal 2 yang ternyata juga sepi. Melihat kondisi seperti itu, teman hidup mau memilih menunggu kami berangkat, baru dia balik pulang. Tapi saya bilang ini sudah aman, mending langsung pulang, karena sekitar 3 jam lagi kami baru naik pesawat. Mau ngapain bengong di situ. Teman hidup setuju.

Saya dan nak bujang menuju pintu masuk terminal 2D, kami dihadang petugas, dibilang masuknya harus dari pintu 2F.

Duh, harus jalan lumayan jauh lagi sambil gendong tas. Nak bujang sempat bergumam, “wah, feeling papa benar, tadi mau nungguin kita. Ini kita jalannya lumayan jauh.”

Masuk di pintu 2F, setelah cek keabsahan dokumen hasil rapid test dengan cara dibubuhin stempel, kami ternyata harus jalan lagi menuju pintu 2D tadi, baru menuju tempat check in.

Nak bujang yang melihat mesin untuk check-in mandiri, mau milih check in di situ. Saya ga setuju, memilih untuk check in di counter seperti biasa, antriannya dikit ini. Nak bujang nurut, agak parno bakal ada keriwehan lain. Semakin berasa lelah duluan nantinya.

Di area dalam ternyata ada beberapa gerai makanan yang buka. Karena belum makan siang, dan ga tau kondisi bandara Minangkabau, saya dan nak bujang memutuskan makan di salah satu gerai.
Saat nyicip makanan, nak bujang berasa nyesal, dalam kondisi perut lapar aja, rasa makanan jauh banget dari harganya. Ups.

Setelah menunaikan sholat di mushola terminal 2D, kami memilih duduk di bangku yang ada di lorong ruang tunggu. Dari kaca terlihat kalau di luar sedang hujan.

Nak bujang ngisi baterai ponsel di charging point yang ada.

Sebelum pukul 3 sore, dapat WA kalau teman hidup udah nyampai rumah.

Pukul 16, cuaca udah cerah lagi, terdengar panggilan penerbangan kami, penumpang diminta menuju pesawat melalui gate 4. Kami bergegas.
Ternyata harus naik bus lagi untuk menuju lokasi pesawat.. Lumayan jauh, saya udah ga merhatiin, apa masih di area terminal 2 atau tidak.

Pesawat terisi penuh. Ga ada tempat duduk yang selang seling ituh. Oow.

Penerbangan sesuai jadwal. Alhamdulillah lancar. Telinga aman, hanya daun telinga yang agak sakit karena headset yang dipakai agak kecil.

Ketika menjejakkan kaki di bumi Minangkabau disambut oleh suara adzan Magrib.

Sebelum keluar dari bandara Minangkabau, penumpang harus mengisi beberapa informasi di aplikasi e HAC (Kartu Kewaspadaan Kesehatan Elektronik) yang harus download di ponsel.

Pertanyaan dari isian e HAC ini, nama, no kartu identitas, alamat provinsi asal, nomor penerbangan, nomor tempat duduk, data daerah tujuan, dsbnya. Setelah diisi semua, baru bisa melewati petugas yang akan menscane kode QR isian tsb.

Dari bandara Minangkabau yang berada di kabupaten Padang Pariaman, kami perlu waktu dua jam lebih lagi agar sampai di kampung halaman.

Saat menunggu di Soetta, nak bujang sudah mencari-cari informasi transportasi yang akan kami gunakan dari bandara Minangkabau. Di sana sudah ada pemesanan kendaraan melalui aplikasi online.

Saat beranjak menuju gerai penyedia layanan kendaraan online, seorang uda-uda menghampiri, menaja tujuan saya. Kendaraannya bisa dipesan melalui aplikasi atau langsung sama dia. Harganya sepertiga tiket pesawat dari Jakarta. Beuh. Yang penting nyampai tujuan.

Di jalan menuju kampung, kami melihat orang-orang ramai menuju masjid, mau tarawih pertama.

Selama perjalanan dari bandara Minangkabau menuju kampung, saya tidak melihat tanda-tanda adanya situasi covid dari orang-orang di jalan. Yang menggunakan masker hanya saya dan nak bujang serta da supir yang maskernya ada di dagu.

Nak bujang sempat tidur, saya ngobrol berbagai hal dengan da supir. Gosip tentang covid, tentang perkembangan artis Minang, tentang objek wisata, macam-macam.

Nyampai rumah duka pukul 9 an malam, orang-orang baru pulang taraweh.

Kegiatan Selama di Kampung

Setelah ngobrol lebih dari cukup dengan anak-anak almarhum di rumah duka. Saya pun menelpon ibunda bahwa saya sudah di rumah duka. Isi pembicaraan kami tentu saja bisa di dengar oleh semua yang ada di situ. Saya ga mau ambil risiko telinga saya bermasalah karena telepon ditempelin ke kuping. Kondisi ibunda sudah membaik.

Sebelumnya, saya sudah mendapat informasi dari adek, bahwa ibunda pada siang Senin itu, saat saya sedang riweh dengan perjalanan hari itu, beliau sudah menyaksikan prosesi pemakaman almarhum dari awal hingga selesai melalui panggilan video dengan anak adek yang hadir di rumah duka.

Saya yang boleh dibilang belum tidur, hanya fokus pada proses perjalanan, ga sempat melihat video atau foto yang dishare oleh saudara-saudara di grup WA atau medsos lainnya.

Adek juga memberitahukan via WA bahwa dari video yang dia lihat, medan ke makam almarhum lumayan berat, menyeberang sungai, mendaki bukit. Adek ragu dengan fisik saya. Kalau ga kuat, mending ga usah.

Saya mengatakan lihat kondisi besok. Niat awal pulang kan memang harus menengok makam.

Saya membuat janji dengan anak almarhum bahwa besok akan ikut ke makam. Mereka bilang, karena besok sudah puasa, mending pukul 7 pagi aja ke sana agar tak terlalu panas.

Karena ga memungkinkan untuk menginap, saya mohon pamit dari rumah duka. Meneruskan perjalanan ke desa berikutnya. Keluarga istri almarhum bertetangga desa dengan desa keluarga ibunda.

Kami nyampai di rumah masa kecil saya sekitar pukul 11 malam lebih. Ngobrol-ngobrol dengan saudara yang nunggu rumah, dua ponakan dan famili sekitar yang belum tidur yang ikut ngeriung hingga lewat pukul 24.

Oiya, karena sudah masuk malam bulan Ramadhan, anak-anak remaja di kampung masih ramai yang hilir mudik. Suasana ga ada sepi-sepinya.

Setelah bersih-bersih badan, mau rebahan sebentar. baru mau memejamkan mata, e, terdengar anak-anak remaja pada keliling bangunin sahur. Saya duduk, ngelihat jam, baru pukul 1 lewat. Bakal ga bisa tidur nih. Anak-anak remaja pada kerajinan.

Saya sempat ‘tidur-tidur ayam’ hingga pukul 2 lewat, karena setelahnya terdengar persiapan untuk sahur hari pertama. Semua pada semangat.

Saat waktu Subuh, saya sempat agak ragu untuk ikutan berangkat ke masjid. Pasti ramai. Ntar kalau ada warga yang kenapa-kenapa, bisa-bisa saya dan nak bujang yang dianggap jadi pembawa ‘virus’.

Tapi, keluarga di kampung pada meyakinkan, ga apa-apa. Kan bisa nyampai kampung udah melalui test kesehatan virus. Percaya aja semua pada sehat-sehat.

Nak bujang tetap saya minta untuk menggunakan masker. Saya juga memilih memakai masker saat berangkat ke masjid.

Oiya, di kampung saya, perempuan juga terbiasa ke masjid. Sekaligus menjadi tempat bersua dan besilaturrahim sebelum memulai aktivitas harian.

Pulang dari masjid, di beranda rumah sudah ada kakak sepupu laki-laki yang memang menetap di kampung, yang juga pulang dari masjid. Kami ngobrol dan ada beberapa saudara lain yang juga ikut bergabung. Pukul 6 lewat pada bubar.

Pukul 7, saya, nak bujang, dan satu orang ponakan berangkat ke rumah duka. Nak bujang jalan duluan dengan motor bersama ponakan, setelah itu baru nak bujang menjemput saya.

Dari rumah duka kami berangkat dengan beberapa motor menuju area pemakaman yang melalui persahawan warga setempat, hingga berhenti dekat pinggir aliran sungai Batang Bayang.

Di situ kami bertemu rombongaan ibu-ibu desa setempat yang juga mau ke makam almarhum. Mereka tim ‘batagak batu pusaro’. Di desa saya tidak ada tradisi seperti itu. Beda desa beda tradisinya.

Lebar sungai Batang Bayang yang harus diseberangi sekitar 30m. Kedalaman air sepinggang, lumayan berarus. Tidak ada tambang untuk pegangan. Orang kota bilangnya ini menyeberang sungai uji nyali.

Ponakan hanya saya minta nunggu di pinggir sungai sembari dititipn ponsel saya dan nak bujang. Tapi saya lupa bilang dia untuk memoto sebagai dokumentasi.

ruang tunggu terminal 2D sepi
lorong ruang tunggu terminal 2D yang juga sepi

Ponakan tak saya ijinkan ikut menyeberang karena hari Senin dia sudah ke makam, dan sempat tergelincir di sungai saat itu.

Sebelumnya, saat berangkat dari rumah, saya juga berpapasan dengan beberapa etek-etek, masih sepupu ibunda, beliau juga pada berpesan, jika nanti saya tidak yakin bisa menyeberang sungai, jangan memaksakan diri untuk sampai makam.

Saya yakin bisa menyeberang. Melepas sandal dan memegangnya, mencontoh yang dilakukan rombongan ibu-ibu. Nak bujang juga.

Ternyata batu pijakan di dasar sungai lumayan licin. Mungkin karena jarang orang yang menyeberang. Walaupun di aliran sungai tersebut tampak aktivitas beberapa orang yang mengangkut batu dengan ban.

Baru jalan sepertiga sungai, kaki saya mulai susah menemukan pijakan yang ga licin. Salah seorang ibu-ibu menawarkan lengannya sebagai pegangan. Saya pun berpegangan pada si ibu. Makasih ya, bu.

Saya lihat ke belakang, nak bujang juga kesusahan, tangannya dipegang oleh anak laki-laki tertua almarhum.

Akhirnya, setelah melalui tekanan air yang lumayan kuat di pinggang dan pijakan ke dasar sungai yang berbatu licin, kami sampai juga di seberang.

Semua memasang sandal. Saya dan nak bujang mengikuti jalannya ibu-ibu. Menyisiri tepi sungai arah ke hulu. Agak dekat dengan bibir bukit, ibu-ibu mengambil batu sungai yang agak pipih, berukuran selebaran dua telapak tangan, membawanya di tangan kira-kanan dan ada juga di taruh di kepala atau dijuajuang (Minang).

Saya dan nak bujang mengikuti. Tapi kami hanya membawa di tangan kira dan kanan.

Rombongan mulai menaiki bukit yang lumayan menanjak kemiringannya.

Akhirnya sampai di makam almarhum setelah mendaki bukit sekitar 2/3nya. Nak bujang ngos-ngosan dan bercucuran keringat. Walau pinggang ke bawah pakaian masih basah.

Rombongan ibu-ibu itu mulai mengukur dan merapikan tanah makam. Kemudian menata batu-batu yang tadi di bawa di pinggir badan kuburan. Saya, nak bujang, dan keluarga anak-anak almarhum hanya mengamati.

Ketika sudah selesai, rombongan ibu-ibu tersebut beranjak. Saya pikir sudah selesai. Ternyata tugas ibu-ibu yang sudah selesai. Sisa merapikan makam dilanjutkan oleh keluarga, yaitu memberi pagar area sekitar kuburan almarhum dengan ranting pohon.

Setelah menabur bunga, air dari pengajian (salawatan) semalam, berdoa bersama, kami pun beranjak turun, menyusuri jalan yang tadi dilalui saat datang.

Saya menyeberang sungai dengan saling berpegangan tangan dengan nak bujang. Tapi area yang dipilih untuk menyeberang kali ini agak di atas area sebelumnya, ternyata sungainya agak lebih dalam. Dua anak laki-laki almarhum ada keperluan di pinggir sungai tersebut, mereka ga ikutan nyeberang.

Akhirnya saya berpegang pada tangan anak perempuan almarhum yang nomor dua. Berhasil sampai di tempat ponakan yang menunggu. Karena pakaian basah, kami pamit duluan. Ponakan membawa salah satu motor anak laki-laki almarhum, nanti akan diantar lagi ke rumahnya.

Nyampai rumah sekitar pukul 10, nak bujang mandi duluan. Saya berpapasan dengan ‘nduak bako’ (ponakan almarhum bapak) yang juga teman sekolah, yang kebetulan mau ke pasar kecamatan dengan anggota keluarganya. Kami ngobrol sebentar.

Usai nak bujang mandi, saya minta dia dan ponakan untuk mengembalikan motor yang dipakai. Saya mandi dan berganti pakaian.

Sekita pukul 11 lewat saya ajak nak bujang agar ikut ke rumah uwannya (kakak sepupu laki-laki saya yang menetap di kampung).

Kami naik motor, sepanjang perjalanan nak bujang berkata, di kampunga gunung terlihat sangat dekat. Udaranya beda, terasa lebih segar. Padahal daerah rumah kita di rantau juga terlihat gunung di kejauhan. Dan satu lagi, jalan di kampung mulus banget.

Kalau kata da supir yang ngantar kita dari bandara, jalan mulus itu imbas baik dari kegiatan Tour de Singkarak.

Sekitar pukul 1 siang, kami sudah di rumah lagi. Saya menyalakan mesin cuci. Kemudian duduk di beranda, ngobrol dengan saudara-saudara sepupu yang mampir, mereka baru pulang dari pasar.

Setelah adzhar, saya ke rumah salah satu etek, ngobrol hingga menjelang waktu berbuka.
Menjelang waktu Isya, beberapa saudara datang silih berganti. Bercerita mengenang almarhum, bertukar kabar, dll. Ngobrol hingga pukul 24 lewat.

Subuh Rabu pagi, di masjid saya ketemu sahabat SMP. Dia ngajak ngobrol sambil jalan pagi. Pulangnya, saya mampir di beberapa rumah saudara. Nyampai rumah sudah siang.

Saya menelpon ibunda. Beliau mengingatkan kalau sekarang bulan Ramadhan, maksud dan tujuan pulang kampung sudah ditunaikan. Alhamdulillah.

Mendengar pernyataan tersebut saya ingat teman hidup di perantauan. Karena pulang mendadak, ga ada stok makanan di kulkas yang sempat saya persiapkan.

Walau setiap sahur saya menelpon untuk membangunkan, tetap aja menu sahurnya kacau.
Sahur pertama dengan mie seduh, sahur hari kedua hanya sempat ngopi. Buat buka sih banyak yang jualan di sekitar rumah. Kalau saya ga segera balik, bisa kacau kesehatan teman hidup selama Ramadhan.

Rencana di kampung sekitar seminggu dibahas ulang dengan nak bujang dan ponakan. Kebetulan ponakan kedua yang hobi main game sama nak bujang, juga sudah mau masuk kuliah hari Jum’at. Sedangkan ponakan tertua masih kuliah daring.

Teman hidup yang saya kabari perubahan rencana tersebut, langsung memberikan informasi by WA kalau hari Kamis ada tiket yang bisa dilakoni dari kampung dengan waktu yang ga buru-buru.

Nak bujang dan ponakan kedua juga browsing. Dipilihlah pesawat yang berangkat dari Minangkabau hari Kamis, pukul 16.30, sehingga bisa sekali jalan dengan rapid test. Karena maskapainya tidak menyediakan rapid test di bandara, tapi salah satu klinik di Padang kota.

Kami menyusun rencana.
Kami dari kampung naik travel pukul 8 pagi. Ponakan kedua yang mau kuliah, ke Padang kota barengan kami. Ponakan pertama karena dari Padang kota dia bawa motor, maka dia akan ke Padang duluan hari itu juga setelah berbuka, membelikan keripik balado dan kawan-kawannya untuk saya bawa balik. Besok kami bertemu di bandara Minangkabau.

Tiket online udah dapat, travel untuk ke Padang juga udah ada, tapi sopirnya bilang berangkatnya bukan pukul 8, tapi setengah delapan. OK.

Rencana Balik Tak Sesuai Prediksi

Setelah semua rencana balik dinyatakan ok. Siang itu, saya pun mutar ke tetangga yang belum sempat saya singgahi. Ada yang rumahnya tertutup, karena bulan puasa, pastinya pada istirahat tidur.

Saat nyampai rumah sore, saya ngecek hp, ada sms yang memberitahukan bahwa jadwal penerbengan besok dipindah ke pagi pukul 7.30.
Waduh! Hasil rapit test 3 hari yang lalu udah ga bisa digunakan untuk check in di bandara, saya mau rapid test di mana kalau begini. Ke kota kabupaten udah bukan jam buka untuk rapid lagi.

Rencana balik tanpa merasa terburu-terburu, bubar sudah.

Nak bujang dan ponakan kedua mencari informasi tentang reschedule jam penerbangan. Jadwal yang tersedia dari maskapai yang tiketnya dipesan hanya tersisa pagi.

Call center yang menghandle perubahan jadwal penerbangan tidak bisa dihubungi. Sibuk.

Nak bujang dan ponakan mengusulkan untuk refund tiket.

Saya mengakatan bahwa kalau posisi kita di kampung seperti sekarang, maka jam penerbangan yang dipilih itu tetap aja yang sore. Kalau besok begitu lagi gimana? Ribetnya hanya berpindah hari, ketambahan ngurus refund.

Pesawat pukul 7, setidaknya kami sudah harus sampai bandara pukul 5 pagi. Hasil rapid test abaikan dulu. Malam jalanan lancar, kampung bandara bisa tembus dalam waktu 2 jam. Itu artinya harus berangkat pukul 3 dinihari. Karena bulan Ramadhan, hal itu bisa saja, malah bisa sahur dulu, baru jalan.

Akhirnya, disepakati travel yang akan ditumpangi ke Padang yang di reschedule.

Saya minta nak bujang untuk pamitan ke rumah uwannya (kakak sepupu laki-laki saya). Ponakan kedua menemani nak bujang.

Sopir travel dihubungi untuk memastikan kesanggupannya mengantar pada pukul 3 dinihari ke bandara, responnya lama.* lah iya, dia lagi nyupir nganterin penumpang*.

Saudara yang nungguin rumah ingat, ada travel lain yang bisa digunakan. Dia pun bernajak untuk mencari kesanggupan travel tersebut.

Bisa.
Saya lega.

Rencana membeli oleh-oleh di-cancel. Ponakan ga jadi ke Padang bareng saya. Mereka akan balik ke Padang kota Kamis siang, boncengan naik motor.

Kakak sepupu laki-laki datang ke rumah setelah magrib, memastikan kami berangkat jam berapa. Waktu Isya, dia beranjak ke masjid.

Usai taraweh, saudara yang nungguin rumah, datang tergopoh dari masjid, di masjid dia ngobrol dengan kakak sepupu saya. Ternyata dia salah ngasih informasi waktu ke travel yang akan mengantar ke bandara, dikiranya pukul 3 sore besok, padahal pukul 3 dinihari ini.

Waduh. Mulai pening lagi ni kepala.

Si saudara muncul, yang nyupir mintanya berangkat jam 1 dinihari dari kampung, takutnya kalau jam 3 dia keburu ngantuk.

Baiklah. Yang penting nyampai bandara pagi hari sebelum jam berangkat, agar bisa komplain.

Kakak sepupu laki-laki yang merupakan Datuak Korong saat ini, datang lagi ke rumah. Kami semua, dua ponakan, saya dan nak bujang, saudara yang nungguin rumah, dan beberapa tetangga, ngobrol hingga pukul 24 lebih. Setelah berpesan pada ponakan-ponakannya, ‘Uwan’ pamit pulang. Kami bubar.

Ponakan pertama tidur ke rumah nenek yang di belakang. Nak bujang bersalin pakaian, lanjut ngobrol dengan ponakan kedua seputaran internet dan game. Saya merapikan bawaan sekaligus bersiap. Saudara yang nungguin rumah juga pada istirahat.

Pukul 1 kurang 15 menit, mobil yang akan mengantar ke bandara udah nyampai depan rumah.

Menjelang dinihari itu kami beranjak dari kampung halaman. Nak bujang memilih tidur. Saya memilih tetap terjaga, sekali-sekali nemenin ngobrol yang nyetir. Kepala saya sebenarnya sudah berasa ‘ngambang’ karena hari itu benar-benar belum tidur.

Kami nyampai bandara pukul 3 dinihari.
Saya membayar ongkos mobil yang mengantar yang jatuhnya harga carteran.

Bandara masih seperti terlelap. Redup dan sepi.

Mobil yang ngantar mutar balik. Saya dan nak bujang melangkah menuju petugas yang berjaga. Sempat ditanya oleh seorang uda-uda, apakah kami sudah melakukan rapid test. *terasa hawa-hawa rapid test dijadikan lahan bisnis 😛 *.

Saya menghampiri petugas yang berjaga, memastikan apakah dalam kondisi pandemi seperti sekarang, jika ada perubahan jadwal penerbangan dari maskapai, yang harusnya sore, dimajukan mereka ke jam pagi, pihak maskapai juga menyediakan fasilitas rapid test antigen subuh-subuh di bandara.

Petugas menggeleng. Fasilitas rapid test di bandara bukanya pukul 8.30. Kalau penumpang yang berangkat pagi, harus tes rapid di klinik di dekat pintu gerbang luar bandara.

Saya juga sempat bertanya, apakah hasil rapid test 3 hari yang lalu masih bisa digunakan.

Petugas kembali menggeleng. Dia beralasan bahwa semua yang bertugas di bandara hanya melaksanakan aturan yang dibuat pimpinan di pusat, sedangkan aturan saat ini hasil rapid test antige hanya berlaku untuk 1 x 24 jam.

Petugas bandara juga mengingatkan, bakal percuma juga saya komplain ke petugas penerbangan yang di bandara, mereka juga hanya menjalankan instruksi pusat.

Petugas menyarankan saya untuk rapid test mandiri ke klinik yang sebelumnya dia arahkan. Dia mempersilahkan saya menunggu, nanti akan datang yang bisa mengantar ke klinik. Bandara baru buka pukul 4 pagi.

Ga berapa lama, ada dua orang uda-uda yang menghampiri saya, membahas tentang rapid test antigen. Saya dan nak bujang dikenakan biaya 500 ribu.

Ga ada pilihan lain. Mau reschedule ke penerbangan siang, bakal riweh lagi.

Kami diajak uda tadi ke parkiran dan dipersilahkan naik ke mobilnya. Jalan sebentar, si uda turun, menaikkan seorang ibu yang juga akan rapid test.

Si ibu ternyata penerbangannya ke Kualanamu Medan, pesawat pukul 10. Tapi saya ga ngerti kenapa si ibu ikut rapid test pagi buta begini.

Kami nyampai di klinik yang masih tutup.
Di tempelan yang ada, tertera informasi bahwa klinik tersebut melayani rapid test mulai pukul 8.30 – 16.30 WIB. Hmmm.

Uda supir yang nganterin kami menelpon dan memencet bel. Dua petugas klinik muncul di jendela pendaftaran.

Masing-masing tanda pengenal dari kami diserahkan. Si ibu yang mau ke Kualanamu diambil sample rongga hidungnya terlebih dulu. Setelah itu saya, baru nak bujang.

Saat menunggu hasilnya, datang dua orang lagi yang akan melakukan rapid test antigen.

Sekitar 20 menit kemudian, hasil test sudah keluar. Saat laporannya saya cek, nama saya salah. Nunggu diketik ulang lagi.

Selesai.
Balik ke bandara.
Di bandara sudah ada beberapa penumpang lain dengan wajah mengantuk.

Karena ga sempat membungkus makanan, sebab mobilnya datang lebih cepat dari waktu yang disepakati, saya hanya sempat membawa dua buah pisang dan dua botol air mineral.

Saya dan nak bujang mencari tempat untuk duduk ke arah dekat mushola. Kami masing-masing makan satu pisang dan satu botol air mineral untuk sahur hari Kamis itu.

Dari tempat kami duduk, tampak petugas kesehatan yang mengecek keabsahan dokumen rapid test antigen sudah duduk berjejer di bangku dekat pintu masuk ke dalam area bandara.

Karena belum masuk waktu Subuh, saya mengajak nak bujang untuk menunggu di area dalam bandara aja. Kami pun beranjak.

Sebelum sampai di meja petugas yang memeriksa dokumen, nak bujang melihat mesin check in mandiri.

Nak bujang ingin coba check in mandiri. Saya mengangguk, sebab kepala udah mulai berat, ntar kalau antri lagi, rasanya udah ga kuat.

Nak bujang senang karena check in mandiri dia bisa pilih kursi dekat jendela. Beres.

Kami antri dibarisan pengecekan dokumen agar dapat masuk ke dalam.

Uda yang tadi nganterin ke klinik nyamperin kami, dia melihat kertas boarding pass di tangan saya, “ibu udah check in mndiri?”

Saya mengangguk.

Si uda memberitahukan bahwa antrian itu adalah pengecekan dokumen hasil rapid test antigen, baru bisa masuk ke dalam bandara.

Saya mengangguk tanda paham.

Rupanya si uda memastikan penumpang yang dia antar ke klinik untuk test, berhasil melewati meja-meja petugas tersebut. Hmmm.

Setelah melalui beberapa pengecekan, kami sampai ruang tunggu, terdengar suara adzan Subuh.

Pilot dan kru Batik air lewat.

Gate di ruang tunggu bandara Minangkabau berjejar dalam satu ruangan yang panjang, setiap penumpang bisa hilir mudik di sana.

Saya mengajak nak bujang ke penunjuk arah mushola.

Usai sholat subuh, karena di kertas boarding pass mandiri tak tertulis Gate kami nanti naik pesawat, saya memilih bertanya ke petugas Batik Air di Gate 4.
Petugas mengatakan bahwa kami bebas menunggu di gate mana pun, nanti bakal ada informasinya.

Melihat Gate lain yang ga ada tanda-tanda kegiatan, saya mengajak nak bujang untuk duduk di area Gate 4. Nak bujang memilih bangku dekat charging point. Saya menyandarkan kepala ke sandaran bangku, mencoba untuk tidur sebentar.

Penumpang Batik Air sudah naik pesawat.
Pukul enam kurang, lewat pilot bule dengan krunya.

Karena gagal fokus oleh kantuk, saat nak bujang bertanya itu tim maskapai mana, saya menyebutkan Sriwijaya Air, karena seragam kemerahan pramugarinya aja. Padahal mata saya melihat jelas logo koper yang mereka seret. Memori kepala saya ga terkoneksi dengan baik.

Ketika petugas yang menjaga Gate 4 memanggil penumpang yang mempunyai bayi, anak-anak, dan orang tua. Penumpang lain langsung berdiri, mengambil posisi ngantri. Saya hanya mengamati.

Setelah terdengar himbauan dari pengeras suara yang meminta penumpang menuju pesawat melalui Gate 4, baru saya ngeh kalau itu nomor penerbangan kami. Saya melirik jam. Pukul 7. On time juga.

foto awan penerbangan pagi
cuaca penerbangan pagi

Setelah antrian berkurang, saya dan nak bujang baru berdiri, beranjak mendekati petugas, menyerahkan boarding pass.

Setelah antrian itu, ada lagi petugas yang memberi informasi, nomor duduk 1 – 10 lewat garbarata, nomor 10 ke atas turun melalui tangga.

Karena pas check in mandiri nak bujang memilih bangku nomor 9, kami berbelok ke arah garbarata.

Salah satu hal bagus hari ini, ga turun naik tangga lagi.

Pesawat menuju Jakarta ini juga penuh. Mungkin karena jadwal penerbangan sore yang digabung ke pagi.

Di pesawat, baru saya ngeh kalau tombol on off hp saya ga berfungsi. Nak bujang harus melepas baterai untuk mematikannya.

Perjalanan lancar, langit cerah. Nak bujang sempat mengambil beberapa foto dan video. Saya malah lupa untuk mengabadikan satu momen pun. Kurang tidur membuat ga fokus, semakin terasa efeknya saat usia bertambah.

Di Soetta, saat ngisi e HAC, nak bujang memasukkan datanya lebih dulu, dan memakai nomor KTP saya karena dia belum punya. Giliran memasukkan data saya, aplikasinya menolak, memberitahukan no KTP ga boleh sama.

Daripada berdiri lama lagi, saya mendekat ke petugas.

Eh, tak taunya ada pintu keluar khusus untuk yang ga mengisi e HAC. Tinggal ngelihatin kertas sobekan boarding pass dan KTP. Beuh, tadi sampai pegal berdiri ngisi data yang tetap aja hasilnya mental karena salah input di awal.

Di lorong menuju pintu keluar, saya meminta duduk dulu untuk menyalakan hp yang bermasalah. Nak bujang ngotak atik hp saya. Saya ke toilet.

Setelah hp saya bisa nyala, saya mengabarkan ke adek di Kepri, dan teman hidup di rumah, bahwa kami sudah nyampai Soetta.

Saya dan nak bujang berjalan ke luar, hawa-hawa situasi covid sudah mulai terlihat lagi #Eh.

Kami menuju ujung terminal 2, ke lokasi loket penjual tiket bus Damri.

Isi bus masih 50 persen, bangku dua hanya boleh diisi satu orang.
Saya memilih tidur. Lumayan, rasa kantuk sedikitterobati. Nak bujang asyik dengan hpnya di bangku belakang saya.

Nyampai terminal bus pukul setengah 12. Saya ngabarin teman hidup. Dia bilang mau dzuhur dulu, baru setelah itu menjemput kami.

Siip.
Karena terminal sepi, bangku pada kosong, saya bilang sama nak bujang bahwa saya akan tidur lagi sambil duduk.

Saat bapaknya sampai, nak bujang membangunkan saya. Lumayan, dapat tambahan tidur satu jam.

Nyampai rumah, kami mandi, dzuhur. Nak bujang memilih tidur. Saya menelepon ibunda. Bercerita perjalanan.

Hari-hari berikutnya saya masih memenuhi jam tidur yang kurang.

Nak bujang tetap merasa bahwa waktu di kampung saat pulang kali ini terlalu singkat.

Demikianlah catatan perjalanan pulang kampung ke Sumatera dengan mendadak karena menerima kabar duka.

Kesimpulan

Berita duka membuat persiapan melakukan perjalanan sangat minim. Kondisi mental harus dijaga agar tetap berpikir positif.

Melakukan perjalanan selama pandemi harus dengan budget lebih dari biasanya. Banyak hal tak terduga yang harus diantisipasi.

Mengunjungi suatu daerah, memberi cara pandang baru, ketakutan di satu wilayah akan isu yang beredar, tidak begitu kentara terasanya di daerah lain. Itu memberikan energi positif tambahan. Begitu juga sebaliknya.

Selama dinyatakan pandemi, logika harus dipergunakan, protokol kesehatan tetap dijaga, tapi aktivitas kehidupan harus tetap dilanjutkan. Karena hidup itu sejatinya bergerak.

Salam sehat selalu untuk teman-teman ysalma.com. Tetap semangat beraktivitas ❤ .

Iklan

2 comments

Terima Kasih Untuk Jejakmu, Temans :)

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.