Hello September, apa kabar? Walau pandemi Covid 19 belum berakhir, kita masih diberi kesempatan bertemu lagi. Tentunya dengan sebuah harapan baik.
Semoga semangat dan keceriaanmu menular pada semua. Tak terasa, tiga bulan lagi tahun pun akan berganti. Masih ada cukup waktu untuk berbenah diri jika diniatkan.
Mulai dari sekarang, lakukan semuanya dengan kesadaran bahwa semua itu memang harus dikerjakan dan dijalani. Bukan lagi sebatas menampilkan kesan baik di mata orang lain. Tapi memang individu yang sedang berusaha baik dari waktu ke waktu.
Pribadi yang benar-benar bisa menikmati senyum bahagia, bukan kepura-puraan. Baik saat berada di tengah keramaian ataupun saat dalam kesendirian.
September, Kenapa Terkesan Begitu Istimewa?
Tentunya bukan pertanyaan untuk mereka yang lahir atau jadian di bulan ini, melainkan menurut pandangan umum.
September merupakan bulan kesembilan berdasarkan penanggalan masehi. Apabila dicocok-cocokkan (ilmu cocoklogi), maka jumlah huruf/abjadnya juga sembilan. Yang mana angka sembilan bagi sebagian orang dianggap sebagai angka spesial ataupun angka hoki. Entahlah.
Yang jelas, di negara tropis, pada kondisi normal, bulan September merupakan bulan pergantian musim dari kemarau ke musim penghujan. Dari cuaca berdebu, perlahan akan mulai terasa adem seiring kembali menghijaunya pucuk daun yang sempat meranggas. Bunga-bunga pun bermekaran.
Pada negara subtropis, bulan September juga bulan pergantian musim. Di bagian Utara bumi sebagai penanda masuknya musim gugur (Autumn), sedangkan di bagian Selatan bumi akan memasuki musim semi (Spring).
Di bulan September juga banyak peringatan hari penting, diantaranya Hari Aksara (Literasi) Internasional, hari melek huruf (8 September), Peringatan 11 September, serta Hari Perdamaian Internasional pada 21 September, dan banyak hal lain yang terjadi dan diperingati di bulan ini.
Catatan Penyemangat Menjalani September
Bulan September juga bulan terakhir pada kuartal ketiga, bulan yang seharusnya juga sebagai bulan evaluasi.
Tahun ini saya mempunyai beberapa catatan yang harus dituliskan agar ikut ceria menjalani bulan September ini seperti yang lain 😳 .
- Jangan Khawatir Berlebihan
September tahun ini diawali dengan berita tentang kasus covid 19 yang naik lagi. Bahkan di Bogor mulai diberlakukan jam malam operasional tempat-tempat keramaian. Untuk kondisi ini, saya sangat berharap agar vaksinnya segera ada dan pandemi segera berakhir.
Yang menjadi masalah, ada masanya saya khawatir pada hal-hal yang seharusnya tinggal dijalani dengan sebaik-baiknya. Saya terlalu khawatir pada sesuatu yang belum terjadi.
Saya mengetahui bahwa menjalani waktu saat ini dengan sebaik-baiknya jauh lebih penting, daripada memikirkan nanti yang entah bisa ditemui. Sebab, tidak ada yang tahu kehidupan di detik berikutnya.
Padahal lagi, jika saya sibuk khawatir tentang hal yang belum terjadi, hingga kurang menyadari waktu sekarang, saya sesungguhnya sudah kehilangan waktu saat ini. Tentu saja juga waktu nanti yang dikhawatirkan itu.
Alih-alih melakukan perbaikan, kehidupan akan lewat begitu saja, tanpa satupun ada yang bisa disyukuri.
Sayang sekali.
Sebab, syukurlah yang membuat seseorang bisa tersenyum yang sebenarnya. Senyum yang terlahir dari hati dan membuat bahagia. Syukur juga akan bisa ‘menghentikan’ waktu melalui kenangan yang selalu ingin diingat.
Sekarang, cukup khawatir sewajarnya saja.
- Ungkapkan Ketakutan, Jangan Pendam Sendiri!
Ini catatan yang saya simpulkan dari pengalaman sederhana yang saya temui.
Beberapa waktu lalu saat bersepeda pagi, saya melewati jalan pintas menuju perkampungan sebelah.
Saya harus menuntun sepeda menapaki jalan tanah menanjak. Di depan saya, dalam jarak aman ada tiga anak perempuan usia kelas empat SD yang berjalan santai.
Di ujung jalan pintas menanjak tersebut, ramai orang berkumpul. Saya berhenti dalam jarak tertentu, menunggu dan mengamati situasi, sepertinya ada pawai agustusan yang dilaksanakan di penghujung bulan. Melihat pemandangan itu, sepertinya orang-orang beranggapan Covid 19 hanya ada diberita, hiks 😥 .
Terdengar teriakan ‘pocong, pocong’.
Salah satu anak perempuan yang sebelumnya jalan di depan saya, berbalik cepat dengan wajah ketakutan dan spontan menangis. Dia menghampiri saya, agak ragu memegang sepeda, “mba ada pocong, aku takut. Bagaimana ini?”.
Dua temannya coba menenangkan sembari tetap penasaran dengan iringan pawai. Ga fokus dengan temannya yang sedang ketakutan.
Saya tersenyum dari balik masker, berusaha menenangkan si gadis kecil dengan mengatakan bahwa itu hanya iring-iringan pawai. Itu hanya orang yang menggunakan kostum ala-ala pocong. Kamu ga akan apa-apa, kan ramai sama orang yang menonton. Temanmu juga ada.
Ketakutan di wajah anak perempuan perlahan sirna, dia tersenyum mengangguk, menghampiri dua temannya, kemudian mereka kembali melanjutkan perjalanan.
Setelah iring-iringan lewat dan menjauh, saya juga melanjutkan gowes sembari tersenyum dikulum. Ketakutan membuat si gadis kecil kurang jernih memahami situasi. Dia sampai mengira saya seorang mbak-mbak, padahal walau wajah saya tertutup masker, tetap ketahuan kalau saya seorang emak-emak 😆 .
Saya menarik kesimpulan dari kejadian tersebut. Ketakutan jangan dipendam sendiri, tapi harus diungkapkan pada sahabat, orang yang dipercaya, atau bisa dituangkan melalui tulisan di jurnal yang dimiliki. Hal ini untuk menghindari kamu merasa ‘sakit’ berkelanjutan secara mental. Padahal, terkadang didengar orang lain saja sudah bisa menenangkan dan mengenyahkan ketakutan itu.
- Jika Masih Ada Kesempatan, Lakukan Silaturrahim Dunia Nyata
Hubungan sosial yang melibatkan emosi dan logika memang akan selalu tergerus oleh waktu. Tapi makhluk sosial akan terus membutuhkannya untuk melengkapi hidup.
Tak perlu kecewa berlarut-larut untuk mereka yang memutuskan pergi dan tak pernah datang ‘menjenguk’ atas nama teman atau sahabat. Itu hal biasa dalam kehidupan.
Tetapi selagi ada kesempatan, silaturrahim di dunia nyata harus terus dilakukan, apalagi dengan yang se-frekuensi. Bukan silaturrahim yang membuat uring-uringan sesudahnya, tetapi pertemuan yang bisa membuat tersenyum dan pikiran terasa lebih jernih.
Jika dalam kondisi sehat dan situasi normal, saya termasuk yang mau melakukan perjalanan berjam-jam dengan sepeda motor atau angkutan umum demi mencapai lokasi pertemuan *kalau teman hidup saya ‘malas’ mengantarkan *. Tentunya silaturrahim yang didatangi sepadan dengan capeknya perjalanan yang dilakukan.
Tertawa bersama saat bertatap muka langsung itu sensasinya beda. Jika jeli, kamu akan mengetahui bahwa pertemanan itu masih sama hangatnya seperti dulu, atau waktu sudah mengambilnya dari kalian.
Selama pandemi ini, berkomunikasi secara virtual merupakan sebuah pilihan yang harus dijalani. Tetapi tak dipungkiri, terkadang jenuh melanda, kebutuhan berkomunikasi dengan tatap muka secara langsung sangat menggoda untuk dilakoni.
Tapi jangan sampai lupa bahwa keadaan sekarang menuntut semua orang untuk bersabar, menahan diri untuk tidak nongkrong-nongkrong yang ga penting.
Jangan sampai karena alasan stres di rumah saja, kangen ketemu konco-konco, malah jadi mengabaikan kesehatan diri sendiri dan orang lain yang disayangi.
Sekarang, semua baru pada menyadari betapa berharganya waktu dan kesempatan sebelum pandemi melanda. Tetapi semua sudah terjadi. Jika terpaksa harus ngeriung karena tuntutan melanjutkan kehidupan, pilih tempat bertemu di ruang terbuka dengan tetap menjaga protokol kesehatan.
Kesimpulan
- Ceria tidaknya kehidupan itu bukan orang lain yang tentukan, tapi diri sendiri.
- September boleh saja identik dengan bulan ceria, tapi setiap individu harus mengusahakannya, bukan otomatis kecipratan.
- Hidup harus terus dilanjutkan dalam kewarasan dan dengan kemampuan diri, bukan menurut apa kata orang.
Welcome September ❤ .
Septemberrr 😊
SukaDisukai oleh 1 orang
Ceria,,,, 😀
SukaDisukai oleh 1 orang
Semoga akan tetap selalu ceria 😀
SukaSuka
Mudah-mudahan 🙂
SukaSuka
Amiiiinnn 😀
SukaDisukai oleh 1 orang
Kalau Green Day malah pengen tidur aja, Mbak, sepanjang bulan September. Kayak di lagu Wake Me Up when September Ends. 😀
SukaDisukai oleh 1 orang
Hehehe, iya.
Kalau dalam sejarah Indonesia, September malah kelabu atau malah mungkin kelam.
SukaSuka
Semptember kalau bagi sejarah Indonesia sepertinya ga ceria tapi justru kelam.
SukaDisukai oleh 1 orang
Yups.
Semoga ke depannya September dalam sejarah bisa diterangkan 🙂
SukaSuka
Weh….Ada Hari Perdamaian Internasional rupanya……adem jika denger kata damai, ya mbak😀👏
SukaDisukai oleh 1 orang
Betul.
Harusnya damai dalam keindahan keberagaman.
SukaSuka