Mencari Makna Kebebasan Sejati sempat menjadi sebuah pergulatan panjang dalam diri, selama menapaki tangga kehidupan. Dalam kacamata orang lain kita terlihat begitu bahagia, mempunyai hidup sempurna yang diimpikan sebagian orang. Tapi jauh di dasar sanubari terdalam, kita menyimpan kegelisahan. Merasa ada sesuatu yang kurang, ada sesuatu yang salah.
Seandainya mesin waktu itu benar-benar ada dan bisa dimiliki seperti hape, ingin rasanya kembali ke titik tertentu, untuk menghapus cerita yang tak ingin kita tuliskan, atau setidaknya memperbaiki kesembrawutan yang sudah terjadi.
Saya dari kecil termasuk anak yang agak “pembangkang”, tidak melulu tunduk sama pilihan dan saran orangtua *maunya beda aja*. Mulai dari hal-hal sepele, sampai kepada pilihan hidup, yang akan dijalani sepanjang sisa umur. Saya entah termotivasi oleh tokoh apa *waktu SD majalahnya sih BOBO*
Anehnya kedua orangtua ikut aja, tanpa diskusi atau melibatkan pihak ketiga untuk mempengaruhi pendirian yang sudah anaknya pilih. Seperti yang biasa mereka lakukan kepada saudara-saudara dan sepupu saya yang lain.
Untuk urusan sekolah, setamat SD di minta meneruskan ke Madrasyah Ibtidayah, saya mendaftar ke SMP. Setelah SMP di suruh ke SPK, saya milih SMA *menunjukkan prestasi, kalau pilihan saya tak salah*. Setelah SMA disarankan melanjutkan ke Keguruan, saya ikut UMPTN yang kurang dipersiapkan dengan matang, milih jurusan yang saya mau, ujungnya ga lulus *pertama kali kena batunya karena sok tak mau diatur*. Mereka justru kuatir, saya bakal kenapa-kenapa karena pertama kali saya ga bisa memenuhi target pada diri sendiri.
Akhirnya saya terdampar di Politeknik. Rencananya di tahun berikutnya saya akan ikut UMPTN lagi. Tapi karena bertemu teman-teman yang asyik, rencana saya ubah. Saya tetap selesaikan Poltek-nya, nanti setelah kerja baru lanjut S1 *sampai sekarang ga terlaksana*.
Begitu juga dengan pendamping hidup. Selesai Poltek, orangtua memperkenalkan saya dengan anak temannya “perjodohan terselubung”. Saya menolak secara halus, dengan alasan ingin kerja dulu.
Mimpi saya masih banyak, tapi rontok satu persatu. Penyebabnya saya sudah ga fokus sama kebebasan menentukan pilihan jalan hidup, dengan hasil yang dapat dipertanggung jawabkan kepada kedua orangtua. Saya pada akhirnya tergerus juga oleh suara-suara yang bernada negatif.
Saya mulai mempertanyakan kebebasan seperti apa yang saya cari. Apa yang sebenarnya ingin saya tunjukkan kepada orangtua?
Saya sampai di titik merasa capek sendiri. Saya rindu diingatkan, rindu dimarahi sebagai anak. Rindu dipaksa untuk mau mengikuti kemauan orangtua sekali aja.
Tetapi saya sudah berjalan terlalu jauh. Terlalu lama terlihat sebagai sosok anak yang bisa mempertanggungjawabkan semua pilihan yang diambilnya.
Saya ingin mengadu kalau saya lelah. Tapi saya tak melakukannya, tak ingin membuat mereka sedih. Ternyata anaknya ini tak sekuat seperti yang mereka kira.
Saya memilih mengendapkannya sendiri.
***
Sementara saudara, sepupu, bahkan keponakan bapak satu-satunya, berpikir betapa enaknya hidup yang saya jalani. Tak pernah dipaksa dan kena marah walau sering berkata tidak. Menjalani sesuatu yang memang menjadi pilihan.
Mereka tak berani berkata tidak untuk semua skenario hidup yang sudah dipersiapkan dengan baik oleh kedua orangtua saya. Mulai dari sekolah, jodoh, semua ikut aja *ga berani menolak, karena ga siap mempertanggungjawabkan pilihan lain 😉 *.
Awalnya mereka merasa terpaksa, capek. Tapi setelah sering curhat ke saya, dan saya jawab,”Kau tidak dipaksa, tapi ditawarkan pilihan tersebut oleh orangtua. Kau diberi kebebasan untuk memilih atau menolak. Kalau menolak, berikan alasan dan ajukan alternatif pilihan lain. Kau tak berani ambil resiko lain, kau ga siap kalau seandainya pilihan kau justru jauh lebih buruk dari yang sudah dipersiapkan orangtua”.
Akhirnya, mereka menjalani semuanya dengan enteng, ikhlas. Menganggap itu sudah jalannya. Hidup mereka tidak kekurangan. Malah lebih dari cukup dibanding orang-orang sekitarnya. Mereka yang nurut dengan ‘jalan hidup’ yang dipersiapkan orangtua karena tak berani belok ke mana-mana, pada akhirnya menikmati hidup bahagia bersama keluarga kecil masing-masing. Setidaknya itu yang terlihat dari luar.
***
Saya, walau sempat terbersit ingin kembali ke masalalu dan mengoreksi beberapa bagian hidup yang tak saya inginkan, tersadar juga.
Tentunya setelah puas mengadukan semua kepada-Nya Dia Yang Maha Tau *ga bisa curhat ke orang lain*. Akhirnya menyadari, jalan hidup itu tak selalu lurus, berbelok, menurun dan berlobang, dan semuanya seperti yang kita mau. Semua gelombang hidup itu akan pernah dirasakan kalau diberi umur panjang. Bagaimana menyikapinya? Tergantung kita menjalani dan melihatnya.
Makna kebebasan sejati dalam hidup itu tak perlu dipertanyakan terus menerus atau dicari ke gua-gua kesunyian, atau hiruk pikuk keceriaan.
Kebebasan itu terletak pada keikhlasan dalam menjalani semua yang sudah menjadi pilihan hidup. Tetap diikuti dengan sebuah pertanggungjawaban, minimal pada diri sendiri.
Pada setiap kebebebasan selalu terbatasi oleh kebebasan orang lain. Pada akhirnya, kebebasan itu berjalan pada jalan masing-masing tanpa harus saling menyenggol dan menjatuhkan.
***
Tulisan ini diikutsertakan meramaikan Kuis Sabtu: Kebebasan, di Kimi’s Cool Blog.
Anak muda pasti banyak opini tentang kebebasan, orangtua pasti punya banyak pengalaman dalam menjalani kebebasan yang mereka pilih.
Ayo teman-teman ikutan berbicara makna kebebasan menurut pribadi kita masing-masing.
Setujuh begitu juga orang tua aku mbak, berhubung aku anak pertama cewek pula jadi beban sangat berat. Tetap kita bebas asal tetap bertanggung jawab.
SukaSuka
Kebebasan yang bisa dipertanggungjawabkan ya Ri.*Ikutin kuisnya si Kimi tuh Ri *
SukaSuka
Ohhhh….
Kok ngak da keterangan ikut GA Mbak yu…
SukaSuka
Wahh kuis? Kuis apa? Ikutann dong hihhihii.. *sok akrab*
SukaSuka
Ikutan atuh Bel *biar sekalian kenalan*
Kuis menulis suka-suka tentang makna kebebasan.
SukaSuka
Oohhh.. yang ngadain kuisnya siapa? Hehe..
SukaSuka
Itu ada link ditulisannya, Ranger Kimi 🙂
SukaSuka
Ikut aja dine langsung ke blognya mbak salma trus meluncur ke yang punya gawe.
SukaSuka
Ada di bagian akhir tulisan Ri.
SukaSuka
wahhh padalah udah di cetak biru, aku ngak perhatiin. Tapi aku ngak kenal mbak apa pembuka perkenalan aja ya.
SukaSuka
iya Ri, perkenalan pertama lewat kuiz, selanjutnya berjalan manis 🙂
SukaSuka
Iya tapi pakai tab susah copy link ampunnnn
SukaSuka
tak ada kebebasan yang mutlak
SukaSuka
setuju, ga boleh kebablasan. *ikutan ramein kuis-nya Bang, sekalian bercerita makna kebebasan*
SukaSuka
kalau ada ide, uni.
eh… yang penting seh nulis aja yah… hadiahnya diundi soalnya
SukaSuka
iya, sekalian ngasih tau makna kebebasan sama yang sempat nyasar ke blog yg sedang ingin bebas 🙂
SukaSuka
Dalam menjalani hidup ini, kiat saya ‘kayak air mengalir … dulu utk sekolah oleh ortu, saya diarahkan agar pilih SMK (tehnik / farmasi) … karena saya lihat ‘anak teknik berantem terus …saya pilih farmasi … jadilah ‘lahan kefarmasian t4 saya mencari nafkah … 🙂
SukaSuka
Nurut sama ortu itu, lancar masa depan ya Om.
SukaSuka
Suka sama postingan ini. Meskipun kadang merasa cape tapi bertanggung jawab untuk pilihan yang dibuat. Salut Mba.
SukaSuka
harus ya Dan,
Bebas, bukan berarti tak bertanggung jawab.
SukaSuka
Orang tua saya menyarankan tapi tetap saya yang mengambl keputusan, selama saya bisa menyakinkan mereka dan membuat mereka tidak merasa khawatir dengan keputusan yang saya ambil. Pada akhirnya mereka mendukung dan mendoakan 🙂
semoga sukses kontesnya mba..
SukaSuka
betul Ne, semua kembali ke diri sendiri ya,
ayo ikutan kuisnya si Kimi yang sedang mempertanyakan makna kebebasan tuh Ne 🙂
SukaSuka
Terbelenggu oleh kebebasan masa lalu…..!
SukaSuka
sempat, sesaat.
SukaSuka
Assalaamu’alaikum wr.wb, mbak Ysalma…
Saya lebih senang memberi peluang untuk memilih sendiri setelah berdiskusi agar pilihan itu bisa menghasilkan kebaikan berbanding dipaksa yang tentunya ada protes secara tersirat sehingga hasilnya merudum, tidak ikhlas.
Terserah kepada upaya diri atas sebab dan alasan yang menurutnya mampu dipertanggungjawabkan.
Salam manis dari Sarikei, Sarawak. 🙂
SukaSuka
Waalaikumsalam, Bunda Fatimah,
Setuju, bermusyawarah untuk menentukan pilihan, kebebasan memilih yang juga harus disertai tanggung jawab,
takkan ada marah yang terpendam dengan alasan sebuah pemaksaan ya.
SukaSuka
Tak ada kebebasan mutlak karena ada aturan dan norma yang berlaku di tengah masyarakat tempat kita berada.
Walaupun blog itu milik pribadi tetapi ada pengunjung yang membaca artikel kita. Jika apa yang kita tulis bertentangan dengan aturan atau norma maka ada sanksi, sekecil apapun. Apalgi jika artikel tersebut melukai atau membuat perasaan tidak enak bagi orang lain.
Salam hangat dari Surabaya
SukaSuka
Setuju Pakde,
Termasuk di media sosial lain, membuat status dan kicauan tetap harus tunduk kepada aturan yang ada, dan itu tak mesti dalam bentuk aturan tertulis yang terpajang ya.
Berani berbuat, berani mempertanggung jawabkannya, bebas yang tak kebablasan.
SukaSuka
aku suka quotenya! kebebasan itu tanggung jawab kita sendiri
SukaSuka
yup, tak bisa menyalahkan orang lain dalam hal apapun, termasuk kebebasan.
SukaSuka
Memang yah mba…
Semua keputusan yang kita ambil harus bisa dipertanggung jawabkan…
Tapi beruntung sekali sih mba memiliki orang tua yang memberikan kebebasan buat mba 🙂
SukaSuka
tau anaknya ‘bandel’ kali Bi,
kalau dipaksa,takutnya malah kayak sinetron2, dikit2 kabur, dikit2 berantem sama ortu, salahin ini itu 😀
SukaSuka