Dear Rona, di Kaki Cakrawala


Rona Cakrawala
Dear Rona, di Kaki Cakrawala
, hari ini aku belajar menulis di diary. Saat ini, aku sedang duduk di jendela tempat biasa kita memandang langit dan awan. Hujan sedang turun begitu deras, sedikit angin dan tanpa petir.

Anganku mengembara ke masa kecil kita. Suasana hujan seperti ini begitu kau sukai. Dengan berteriak riang kau ijin ke bunda, kemudian berlari keluar, bermain hujan dengan gembira. Sementara aku cukup menikmati rintik hujan dan kerianganmu dari balik jendela. Tubuh ringkihku tak memungkinkan aku untuk melakukan hal yang sama denganmu.

Dear Rona,
Lapangan hijau dekat rumah sudah berganti dengan gedung bertingkat. Mungkin pemiliknya ingin menyaingimu melewati kaki langit, menembus cakrawala secara vertikal melalui bangunan itu. Entahlah.

Lapangan tempat kita melihat kupu-kupu cantik, tempat kita berburu capung dengan lidi yang diberi plastik diujungnya. Kalau ini aku jagonya, secara kau selalu penuh semangat menangkap mereka. Maka capung-capung itu menggodamu dengan menjauh darimu 🙂 .

Kita selalu kehabisan hari kalau bermain di lapangan itu. Malam terasa begitu cepat ingin memeluk bumi. Dan dari lapangan itu pula kita selalu menatap matahari terbenam. Kau begitu suka dengan warna jingga langit.

Kau selalu bertanya-tanya, apa benar saat itu bidadari menggeliat bangun dari tidurnya, apa mereka benar-benar cantik dan tidak ada yang tomboy sepertimu.

Semenjak itu kau selalu menunggu jingga di kaki cakrawala, dan tak sekalipun membiarkannya berlalu begitu saja. Entah dongeng mana yang begitu merasuki jiwamu. Sampai sekarangpun aku tak tahu.

Dear Rona,
Aku kangen mendengar cerita penuh semangat tentang gunung-gunung yang berhasil kau taklukkan bersama grup pencinta alammu. Aku tak mengerti, apa sebenarnya yang kau cari, lebih dekat dengan rintik hujan, bidadari tomboy, kaki langit, batas cakrawala atau apa? Pendakian terakhirmu, mewujudkan mimpimu bersatu dengan hujan dan mengantarkanmu melewati kaki cakrawala.

Dear Rona,
Kabut duka di wajah ayah bunda tak bisaku tepis segera. Sebagai saudara kembar yang berbeda dalam semua hal. Aku hanya bisa meyakinkan mereka, kau sudah tenang di sana, walau kami tak pernah melihat jasadmu. Kami: ayah, bunda dan aku, selalu berkumpul saat hujan, atau saat rona jingga ada di kaki cakrawala, ditemani secangkir kopi sambil mengenangmu dalam pikiran masing-masing. Kami yakin kau juga tersenyum melihat semuanya dari sana.

24 comments

  1. Jika ini bukan fiksi, saya ikut berduka cita Mbak..

    Tapi jika fiksi.. saya acungkan jempol atas aluran cerita dan penulisannya..

    Suka

  2. Tadi mau nanya ini cerita beneran atau fiksi.. tapi pas baca omentar di atas, untunglah… ini bukan beneran.. 🙂

    Suka

  3. Assalaamu’alaikum wr.wb, mbak Ysalma….

    Nukilan fiksi yang terlihat nyata dari tatabahasacoretkan. Sebuah rona dari cakrawala yang mengindahkan ilusi dan fantasi untuk minda kita bermain kata. Asalnya, saya ingat sebuah kisah nyata yang mengusik hati dan mengharukan. Rupanya, sebuah nada rasa yang disimpul dari keindahan maya pada yang mengkagumkan.

    Salam manis di penhujung pekan dari Sarikei, Sarawak. 😀

    Suka

  4. Dari selembar foto bisa jd karya ya, mb. Saya mau upload foto aja suka bingung mau kasi caption.
    Betewe, foto saya jg pernah di puisi kan sama temen blogger. Hehe

    Suka

Terima Kasih Untuk Jejakmu, Temans :)

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.