Bagi kita-kita yang masih memiliki anggota Panca Indra yang masih berfungsi dengan baik, kadang kurang begitu mensyukurinya. Saat hidung mampet, saat lidah berasa bebal terhadap rasa makanan, saat mata kelilipan, saat telinga mendengung karena kemasukkan sedikit air, baru kita mengeluh, betapa tidak enaknya situasi tersebut. Tapi bagaimana dengan mereka yang berada dalam kegelapan.
YSalma berkenalan dengan Panti Sosial Bina Netra Tan Miyat yang dikelola Depsos (Departemen Sosial) sekitar tahun 1999-an kali, secara badannya suka dipijat kalo pegel-pegel. Kalau dikampung sendiri udah tahu siapa yang punya keahlian pijat tersebut. Dibelantara Ibu Kota, kemana nyarinya,, ke salon,,, massage sambil luluran,, kurang puas rasanya..
Sebenarnya bukan hanya pijatnya aja yang dicari, apalagi waktu masih kerja dulu. Kalo badan pegel, perasaan juga capek, kerjaan kok kayaknya menjadi sebuah beban. Disana sambil dipijat, sambil ngobrol sama yang mijat.
Ternyata hanya sebagian kecil aja dari mereka yang mengalami kebutaan dari kecil (bayi) ataupun bawaan lahir. Tidak sedikit dari mereka yang sudah tahu warna-warni dunia, yang kemudian mengalami kemunduran dengan penglihatan mereka. Yang harus melanjutkan hidupnya dalam kegelapan.
Ada mbak Sri yang sudah menyelesaikan D3nya, sudah bekerja disebuah PMA. Baru diakhir tahun 2005 kehilangan penglihatannya karena Glukoma yang sangat telat terdeteksi.
Ada Mbak Jannah yang sedanga giat-giatnya ujian di kelas 1 SMP, yang kemudian merasakan penglihatannya tiba-tiba berangsur gelap. Ada yang karena kecelakaan, secara melakukan balapan dengan jalanan sebagai track nya. Ada yang setelah kerja, merasa sangat capek trus istirahat, bangun-bangun, dunia yang mereka lihat sudah gelap tanpa cahaya.
Bagaimana kemudian mereka tidak larut memikirkan andaikan semuanya tidak terjadi. Mereka bangkit dari rasa sedih, dan terus berusaha dalam kegelapan untuk melanjutkan kehidupan mereka. Minimal bisa mandiri, tidak selalu tergantung sama keluarga. Di PSBN Tan Miyat itulah mereka belajar membaca dengan huruf braille, belajar teknik memijat, untuk nantinya bisa buka usaha sendiri ditempat tinggalnya.
Bukan penderitaan mereka yang membuat saya setelah dipijat kemudian bersyukur, tidak..
Tetapi selalu merasa malu. Saya yang kadang suka lupa, kalau semuanya adalah pinjaman-Nya. Dan kita tidak tahu kapan nikmat itu akan diambilnya kembali satu persatu.
Masih pantaskah kita yang masih memiliki fungsi anggota tubuh yang lengkap, selalu aja mengeluh untuk semuanya… Malu sama mereka yang selalu berada dalam kegelapan.

Sungguh tulisan yang sangat sarat akan hikmah dan pelajaran berharga tuk kita semua agar selalu bersyukur dan menghargai segala pemberia dariNYA.
SukaSuka
Subhanallahh, begitu banyak nikmat yang Engkau berikan pada ku,
hingga aku lupa untuk bersyukur kepada-Mu
SukaSuka
renungan yang menyentuh…
kita terkadang terlalu banyak mengeluh
padahal nikmat Allah begitu banyak
dan kita tak mampu menghitungnya
thanks atas pencerahannya…
sedj
SukaSuka
bersyukurlah kita yang dikaruniai panca indera lengkap..
kalo bercermin dari fenomena2 yang ada, banyak saudara2 kita yang kurang beruntung dalam hal panca indera, tapi kadang mereka malah lebih bisa mengerti makna hidup ini..
SukaSuka
assalamu ‘alaikum
aku harus meminimalisr rasa keluhkesahku Mba YSalma…
SukaSuka
Dalam kekurangannya, mereka selalu dilebihkan. Sementara kita yang sudah cukup sempurna selalu merasa kurang 😦
SukaSuka
yup, bner kata aldy.
kadang hdup trasa tak adil 😀
SukaSuka
manusia memang tempat berkeluh kesah, dengan selalu melihat kekurangan pada diri orang lain smg menjadikan diri lebih bersyukur..
btw mksh banyak pencerahannya..
SukaSuka
Bener bgt. Saya juga banyak sekali ngeluhnya. Tidak mensyukuri apa yang udah didapat. Mungkin harus belajar mulai dari sekarang untuk bersyukur 🙂
SukaSuka
yup betul mbak..justru kalao udah dicabut kenikmatan itu sm alloh, kita baru sadar ooh ternyata ini teh nikmat nyaaa.. ^^
SukaSuka