Surat Untuk Agustus


Dear Agustus,

Aku sangat yakin kau selalu penuh semangat dan keceriaan. Aku sedikit mengusikmu dengan menuliskan surat khusus ini, sebenarnya dengan sedikit rasa ragu.

Ma’afkan ya.

Kau, adalah bulan penuh perlombaan dan perayaan. Perlombaan bukan tentang menang atau kalah. Tapi, tentang bersenang-senang dalam kebersamaan dan kerjasama tim. Bulan dimana hampir semua tempat yang berhubungan dengan Indonesia, akan berhiaskan warna merah dan putih.

Aura penuh semangat, bertebaran dimana-mana.

Surat Cinta Awan untuk Agustus

Bagaimana dengan kita? *kita? kau pasti mulai merasa agak anehkan? Kau cukup membacanya aja*.

Bagimu sih ga ada efeknya.
Bagi aku yang makhluk sosial, perlu usaha ekstra untuk bisa sekedar ikut tersenyum pada setiap acara kemeriahanmu.

Beberapa tahun terakhir ini, aku sudah ringan mengikuti semua ritual kegiatan menyemarakkanmu. Bukan lagi karena sebuah keterpaksaan atau basa basi.

Hanya saja, seperti pepatah yang mengatakan, bahwa melupakan sesuatu yang sempat menggores hati itu tidak semudah mengucapkannya. Perlu kesungguhan dan niat tulus untuk berdamai, bukan bersikeras melupakan.

Terkadang, aku bisa hahihahi pada awal ritual. Tapi, saat acara puncak kemeriahanmu, aku tiba-tiba masih suka menarik nafas berat dengan diikuti sekelabat pemikiran yang tak pernah diundang untuk ada. Mau tidak mau kepalaku akan tertunduk dengan rembesan air di sudut netra, “betapa bodohnya aku di masa lalu”.

Pikiran lain ikut bersuara, “itu sebuah rekam jejak yang seharusnya kau pergunakan untuk menata langkah ke depan. Seseorang, dilihat bukan seberapa banyak dia terjatuh, tapi bagaimana dia bisa berdiri untuk bangkit dan melanjutkan langkah”.

Iya sih.

Tapi, aku dengan kamu, sepertinya masih harus terus belajar menyesuaikan diri. Lebih tepatnya aku sih.

Padahal, begitu banyak orang-orang terdekatku yang mengucap syukur untuk hari lahir  mereka di bulan kemerdekaan negeri dongeng ini.

Aku malah sibuk memberi sugesti hati, agar wajah bisa menyunggingkan seulas senyum.

Aku tidak membencimu, Agustus. Hanya saja ada sedikit rasa belum nyaman yang kadang suka menghampiri tanpa terduga.

Aku tidak menuntut banyak pada diriku, apalagi padamu.

Aku hanya sangat-sangat ingin tersenyum dengan tulus, melihat semua keramaian yang meyertaimu hingga bulan berganti.

Entah karena masih ada sisa ketakutan di sudut hati, aku sepertinya masih perlu kerja keras untuk bisa bersahabat denganmu.

Ada saja peristiwa yang membangunkan ketidakberdamaianku dengan mu.
Aku tidak ingin menjadi orang yang tanpa rasa lagi, Agustus.

Tolong, waktu yang kau punya bisa menggugahnya lewat tiupan angin, siraman hujan, ataupun teriknya mentari. Tidak harus membuatku lupa. Cukup agar aku tidak perlu mengaitkan semua yang tak berkenan di hati, dengan ketidak harmonisan kita.

Aku juga akan tetap mengingatkan diri dengan sugesti, bagaimana Yang Maha Tahu dan Maha Pema’af akan mema’afkan sebuah kekeliruan, kalau diri sendiri sulit melakukannya.

Benarkan?

Ini hanya surat singkat untukmu.
Aku berharap akan disampaikan awan, dan angin dalam  bahasa cinta, sehingga tidak perlu membuatmu tersinggung. Bahwa aku terlalu mengada-ngada. Jika aku tidak nyaman denganmu, itu mutlak tanggung jawabku.

Aku sangat-sangat mengerti itu. Aku hanya menuangkan gundah yang kembali menghampiri seperti mimpi buruk di siang bolong.

Berharap, setelah menuliskannya aku agak sedikit lega.

Salam berdamai denganmu, Agustus.
Suatu saat, mungkin akan menjadi sebuah salam cinta.
Semoga.

Tertanda,
Perempuan yang sudah menjadi seorang wanita, yang sempat terseok melewatimu.

Iklan

6 comments

Terima Kasih Untuk Jejakmu, Temans :)

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.