Pertengahan tahun 1996 saat saya memutuskan untuk merantau ke Pulau Jawa. Bapak dan Ibu saya tidak terlalu banyak memberi wejangan, atau modal dalam bentuk materi. Mereka hanya berpesan, “Kami bukan melepas kamu merantau, tetapi cuma memberi izin mencoba dunia kerja yang menurut kamu lebih beragam. Karena kalau merantau menurut versi orang Minang, mereka yang belum “sukses” di rantau tidak akan mau pulang kampung. Selalulah kembali pulang, mudik ke kampung halaman, minimal satu kali dalam setahun, saat Lebaran“.
Langkah pertama saya merantau (meninggalkan tanah kelahiran sejenak) tentunya dengan mempersiapkan ‘modal awal’ untuk merantau.
Orangtua mempersilahkan saya membawa perlengkapan awal sebagai modal. Saya memilih satu buah mukena terbaik yang dimiliki ibu, satu buah Sarung Samarinda bapak (menurut cerita beliau, sarung ini dibelinya dari pedagang Bugis 😉 ) dan satu sajadah yang biasa di pergunakan beliau untuk Jum’atan.
O iya, kok perlengkapan sholatnya sarung dan mukena, bukan stelan mukena? Itu karena kebiasaan di daerah asal saya Sumatera Barat sana, perlengkapan seorang wanita untuk shalat itu umumnya, atasannya mukena, bawahannya sarung. Sekarang-sekarang aja yang ikut trend mode mukena stelan 🙂 .
Perjalanan merantau saya tidak semuanya berjalan sesuai rencana. Terkadang melenceng dari prinsip hidup yang diyakini. Saat tersadar, saya merasa sangat ingin terisak dipelukan ibu, atau tergugu di bahu bapak. Tapi itu tak mungkin saya lakukan, jarak yang jauh dan juga tak ingin membuat mereka khawatir..
Dengan modal merantau perlengkapan shalat terbaik milik orangtua yang saya pergunakan, saya merasa keduanya selalu memberikan support dan membuat saya bisa tetap berdiri lagi saat terjatuh, tanpa harus berkeluh kesah ke dunia, cukup berwudhu dan mengadu, minta ampun , mohon tuntunan dan pasrah kepada-Nya.
Sekarang sudah tahun 2011, sudah 15 tahun saya lewati di perantauan. Modal merantau saya yang masih tersisa dan masih dalam kondisi bagus adalah Sarung Samarinda milik bapak dulu.
Padahal baru 2 tahun terakhir ini yang jarang saya pergunakan. Bagi saya, Sarung Samarinda itu, adem saat dipakai dan sangat awet.

Ini ceritaku dengan Sarung Samarinda, mana ceritamu 😉 .
Tulisan ini disertakan pada giveaway Berbagi Cerita Tentang Sarung yang diadakan oleh Kaka Akin.
wah ,,, sarung yah
aku di rumah punya banyak sarung
dari mana coba dapetnya?
setiap lebarang biasanya bapakku dikasih sarung sama bosnya 😀
SukaSuka
Selamat Idul Fitri 1432 H. Mohon maaf lahir batin atas segala khilaf.
SukaSuka
kalo aq bawa jarik hehe,
aq jg udah posting bersama sarung suamiku xixixi
met mudik mbak, met lebaran jg
minal aidin wal faizin.
Mohon maaf lahir batin
SukaSuka
Tentang “Sarung Samarinda” saya punya kenangan yg unik.
Saat saya dikhitan, saya dapat hadiah Sarung Samarinda dari nenek saya
Dan ketika dua anak saya khitanan, sayapun memberi hadiah yg sama.
Sampai sekarang ketiga sarung itu masih utuh dan masih sering kami pakai
SukaSuka
seinget saya ga pernah sekalipun beli sarung.. semuanya hasil pemberian..
itu rejeki saya.. hehehe
SukaSuka
sarung samarinda
selamat dan sukses dengan cerita sarungnya bunda
salam dari pamekasan madura
MINAL AIDZIN WAL FAIDZIN
SukaSuka
Selamat hari raya idul fitri mohon maaf lahir dan batin
SukaSuka
Mohon maaf lahir dan batin, Selamat Hari Raya Idul Fitri 1432H
SukaSuka
Subhanallah… Sarung lebih aman saat dipakai sebagai bawahan saat sholat ya, Mbak… Insya Allah gak bakal melorot kalo diikat kencang 😀
Wah… sarung Mbak itu namanya ‘belang Hatta’ 🙂
Terima kasih sudah ikutan “Berbagi Cerita Tentang Sarung”
Sudah saya catat sebagai peserta.
SukaSuka
semoga sarungnya membawa berkah 🙂
SukaSuka