Hari terakhir di bulan Oktober 2022, menyempatkan membuat catatan sebagai pemelajar kehidupan yang tak akan pernah khatam selama masih menyandang panggilan sebagai manusia. Anggap saja sebagai bentuk ucapan terima kasih pada diri karena pancaindra masih bisa menangkap detail yang dapat jadi pengingat.

Oktober, Perjuangan Pemelajar Menjaga Pikiran Positif
Hingga bulan ke sepuluh pada tahun ini rasanya pikiran susah banget diajak untuk selalu positif saat mendengar, melihat, membaca hal-hal yang diluar perkiraan, yang berakibat pada suasana hati yang terasa tidak baik-baik saja.
Kalau bahasa versi anak muda bilangnya menggalau .
Jadi, detail apa yang membuat pikiranmu berkelana wahai diri?
Terpaku pada Benefit, Lupa Niat Memulainya
Kalau bagi saya yang mengaku sebagai blogger, gegara kebanyakan membaca informasi tentang ngeblog yang harus begini, harus begitu. Tulisan jangan hanya curhat gak jelas, itu sama saja dengan ‘nyampah’ di dunia maya.
Akhirnya merasa keder sendiri, semakin lama semakin jarang mencatatkan yang seharusnya diabadikan dalam untaian kata.
Padahal, dulu waktu rasa penasaran masih begitu tinggi, malah sempat berprinsip bahwa selagi parameter yang digunakan sebagai acuan penilaian masih buatan manusia, pasti ada kelemahannya dan itu bisa diakali. Tinggal dicari. Menulis sangat bersemangat.
Sekarang, karena sudah berhitung ‘keuntungan’, niat blog sebagai sebuah catatan kehidupan, dokumentasi perjalanan hidup yang dianggap penting, lama-lama terabaikan. Lupa pada komitmen awal bahwa jika ada benefit yang menyertainya itu hanyalah bonus dari ketekunan.
Bagaimana dengan kamu yang menjalankan sebuah bisnis? Yang awalnya sebagai usaha menjemput rezeki yang berkah, lama-lama berubah menjadi tempat mengumpulkan rupiah sebanyak yang bisa diraup dengan mengabaikan etika berbisnis. Dalam kaca mata orang lain sudah memiliki segalanya, tapi tetap aja terasa ada yang kurang.
Berhati-hati Menyebar Foto Berkegiatan di Medsos
Saya merasa senang saat melihat foto-foto teman yang melakukan kegiatan umroh sekeluarga. Alhamdulillah.
Tapi, beberapa waktu kemudian, pikiran sempat ‘tersentak’ saat melihat foto si teman di tempat makan yang sedang viral, terbuat dari bahan makanan halal tapi memberi item produknya dengan nama yang kurang baik.
Memang benar nama hanyalah sekedar kata yang disematkan untuk memudahkan penyebutan. Tapi, bagi seorang muslim, bukankah nama dianggap sebuah do’a?
Saya jadi mengingatkan diri, jika kamu termasuk sosok yang ‘dianggap tau,’ pemelajar yang giat. Terkadang juga memperlihatkan (baca: pamer) pada lingkungan tentang kegiatan-kegiatan religi yang menginspirasi.
Membagikan satu foto, hanya sekedar mengikuti yang sedang viral, bukankah akan membuat rancu pikiran-pikiran muda yang menjadikan dirimu sebagai sosok idola atau panutan? Terlepas foto-foto yang dibagikan itu hanya sebagai dokumentasi kegiatan personalmu.
Tetap saja ada andil dirimu jika ada yang mengikutinya setelah melihat foto atau membaca update status yang kamu tuliskan. Bagaimana pertanggungjawaban dirimu?
Fardhu Kifayah, Sunnah, terkesan Wajib. Lalai pada yang Wajib!
Fardhu kifayah dalam Islam merupakan suatu kewajiban, akan tetapi jika sudah dilaksanakan oleh sebagian orang, maka sebagian yang lain terbebas dari kewajiban tersebut. Contoh mudahnya mengurus jenazah seorang muslim mulai dari memandikan, mensholati, hingga menguburkan.
Sunnah merupakan anjuran untuk mengerjakan suatu perbuatan karena dipandang baik. Kalau gak dilakukan gak berdosa.
Sedangkan wajib, merupakan perintah yang harus dikerjakan dan sesiapa yang meninggalkannya akan berdosa.
Akhir-akhir ini semakin sering membaca komentar atau telinga mendengar respon orang-orang yang membahas mereka yang berhalangan hadir di rumah duka sebagai sosok yang sombong, gak peduli, dan sebutan kurang empati lainnya.
Padahal, pikiran cukup berhenti pada pemikiran bahwa yang tidak hadir, pasti ada alasannya. Entah itu keterbatasan waktu, keterbatasan kesehatan fisik yang mulai menurun, keterbatasan finansial, dan keterbatasan lain yang detailnya tak ingin dikabarkan pada semua orang.
Bagi yang masih leluasa melakukan perbuatan-perbuatan baik di mata manusia lain, bersyukurlah. Tak perlu disertai prasangka pada sosok yang tak bisa melakukannya.
Jika berkegiatan seperti itu terus, bukankah yang tersisa dari kegiatan baik tersebut hanya capek fisik dan pikiran?
Pada lain kasus, kita *gw maksudnya* sibuk berkumpul mengatasnamakan silaturahmi, asyik mengobrol hingga satu waktu sholat baru ditunaikan di penghujung waktu. Padahal, bahan obrolan seringnya berujung pada si anu yang dianggap gak mau hangout bareng, ngaji bareng, dll. Duh, Diri, kenapa sering banget ngerasa sudah jadi pribadi yang baik!
Jangan terlalu Meributkan Harta Warisan
Warisan merupakan harta pusaka peninggalan. Itu hasil usaha orangtua atau diturunkan secara turun temurun.
Jangan pernah melupakan sebuah nasihat tetua bahwa harta warisan itu barang halal yang panas. Jika tidak disikapi dengan tenang, gak bakalan ada yang tersisa kecuali penyesalan.
Belakangan ini diingatkan lagi oleh mereka-mereka yang berseteru memperebutkan harta warisan orangtuanya.
Hanya sebagai catatan pengingat diri bahwa harta takkan dibawa mati jika tidak digunakan di jalan kebaikan.
Kasus pertama, seorang suami yang istrinya meninggal lebih dulu. Pernikahan yang kurang dari sepuluh tahun itu tanpa anak. Si istri memiliki harta bawaan, harta yang didapatkan dari warisan bapaknya.
Saat sakit, si istri berwasiat, jika usianya pendek, dia ingin setelah hutang-hutangnya yang timbul karena urusan pekerjaan dilunasi, dia minta sisa hartanya dibangun sebuah masjid. Dia tidak rela itu diwariskan pada suaminya.
Karena berasal dari keluarga berkecukupan, sisa harta bawaann si istri sangat memungkinkan untuk membangun sebuah masjid yang lumayan megah.
Suami yang mempunyai latar pendidikan ilmu agama hingga jenjang perguruan tinggi, yang diamanahkan wasiat tersebut, entah karena silau oleh nominal harta yang banyak, hanya menyumbangkan harta istrinya sebesar 50 juta rupiah kepada sebuah masjid yang sedang dibangun.
Orang-orang dekat yang mendengar dan mengetahui sudah mengingatkan, sisa harta almarhumah sebaiknya dibangunkan saja sebuah masjid, tidak harus megah dan berhabis-habisan. Sisanya dapat digunakan untuk kegiatan memakmurkan masjid.
Peninggalan harta bersama, harta yang didapatkan selama ikatan pernikahan, juga lebih dari cukup.
Keluarga almarhumah hanya memantau, mempercayakan pada si suami yang dianggap ‘orang tau’.
Tak perlu menunggu waktu berbilang tahun, harta warisan istri yang banyak itu habis tak bersisa. Suami yang tertipu lah, dipakai untuk berbisnis bukannya untung malah buntung. Dari yang awalnya menempati rumah mewah peninggalan almarhumah istrinya, berakhir dikontrakan yang ala kadarnya. Hidup kayak di sinetron-sinetron.
Ada juga kasus seorang perempuan yang mendapat harta gono gini yang banyak. Selalu ringan mulut pada saudara yang mendampingi proses perceraiannya yang pajang dan berliku. Kalau ucapannya itu ditujukan ke saudara yang memang ‘parasit’ ya terserah, tapi jika saudara yang memang niat membantu juga ‘kecipratan’ omongannya, sungguh terlalu.
Oleh ibunya, dia diminta untuk ‘menyelamatkan’ rumah keluarga yang digadaikan saudara laki-lakinya ke bank untuk modal usaha.
Kesepakatan bantuan keuangan dengan boroh rumah keluarga via ibunya, si perempuan cukup membayar rumah tersebut jauh di bawah harga pasar. Tujuan si ibu, agar anak-anaknya yang lain tetap mempunyai hak atas rumah keluarga tersebut.
Jika nanti rumah tersebut dijual dan dipasarkan dengan tenang, karena tidak diuber tenggat bank, si perempuan dapat mengambil kembali uang yang digunakan untuk membantu, sisanya dibagi dengan ibunya.
Si perempuan juga diijinkan mengambil lebih dari keuntungan penjualan rumah tersebut, yang penting selisih harga rumah tersebut ada yang dibagi dengan ibunya. Si ibu niatnya akan membagi jatah yang didapat ke anak-anaknya yang lain.
Seorang ibu boleh dibilang memikirkan semua anak-anaknya. Tapi anak-anak hanya memikirkan dirinya sendiri.
Si perempuan dan dua anak lelakinya yang sudah sangat dewasa, tergoda untuk menguasai semua penjualan rumah keluarga, jika nanti laku terjual.
Anak-anaknya malah mengeluarkan kata-kata yang lumayan menyakiti hati keluarga ibunya. “Jika waktu itu tak dibantu, rumah itu juga bakal dilelang murah oleh bank ke orang lain”.
Mendengar si perempuan ingin menguasai penjualan rumah yang terbilang lumayan, ibunya yang sudah sepuh marah dengan melontarkan ucapan yang intinya jika dia tidak dibagi keuntungan penjualan rumah tersebut dia gak bakalan ikhlas dunia akhirat, si perempuan dan anak-anaknya gak bakal selamat.
Beuh, yang satu dijangkiti sifat serakah harta, yang lainnya marah dengan lontaran kata-kata ‘kutukan’.
Si ibu sudah berpulang, beberapa tahun kemudian si perempuan juga berpulang. Rumah keluarga yang diharapkan mempunyai keuntungan besar setelah dijual dengan tenang, tak jua laku-laku.
Hingga saat ini, ketika anak-anak perempuan sangat membutuhkan uang dari hasil penjualan rumah tersebut, hilal bakal lakunya masih belum terlihat. Entah rumah tersebut karena belum bertemu pembeli yang cocok, atau masih terbelenggu ‘keserakahan’ pewarisnya.
Banyak kasus lain dari perebutan harta warisan yang berujung nelangsa. Atau setelah saling berebut hingga memutuskan hubungan kekeluargaan, tapi akhirnya yang menikmati hasilnya adalah mereka yang jadi ‘penonton’ dalam tenang.
Nah, Diri. Semoga yang sempat ditangkap mata dan didengar itu jadi pelajaran hidup. Jaga hati dan pikiran tetap waras.
Terima kasih Oktober, walau membuat galau hati, semoga tetap mencerdaskan pribadi saat bertindak. Gak harus menjadi sosok yang terlihat sempurna, apa adanya saja, tapi selalu berproses ke arah yang lebih baik.
Salam dari mata, rasa dan pikiran YSalma.
[…] juga berupa ucapan terima kasih pada hari yang sudah dilalui. Terlepas hari itu membuatmu bahagia atau menggoreskan rasa […]
SukaSuka