
Memberikan ijin pada anak remaja generasi Z tahun muda untuk naik motor. Perlu dan diperbolehkankah? Kalau menurut saya, tergantung kondisi fisik dan emosional si anak. Sudah bisakah si anak menjaga komitmen dan kepercayaan yang dibuat dengan orangtuanya, terutama ketika dia sedang berada ditengah teman-temannya. Bukan untuk gegayaan dan juga bukan ijin untuk tansportasi beraktivitasnya.
Pada saat sekarang ini, sepertinya untuk remaja generasi Z tidak akan terlalu membuat orang tua kewalahan dalam melarang mereka menggunakan kendaraan bermotor roda dua. Justru yang susah itu, menjauhkan mereka dari gadget.
Dua tahun yang lalu, saya masih banyak melihat gerombolan anak-anak remaja di sore hari yang membawa motor. Saya yang lewat membonceng anak remaja juga, mengingatkan anaknya bahwa kegiatan seperti itu, untuk anak seusia itu, harusnya transportasinya masih sepeda, bukan motor. Banyak pengguna jalan lain yang akan terganggu.
Anak remaja saya yang sebenarnya juga sudah bisa membawa motor sendiri, mengiyakan ucapan saya. Dia menyaksikan sendiri betapa suka lupanya anak seusia dia dengan hak pengguna jalan lain.
Tapi, beberapa waktu belakangan ini saya sudah ga pernah melihat gerombolan remaja bermotor lagi. Sepertinya sekarang jauh lebih seru ngumpul sembari memainkan gadget.
Bahkan, banyak anak yang memang secara usia masih 2 tahun lagi untuk bisa mempunyai SIM, tetapi secara fisik sudah memungkinkan untuk belajar naik motor sendiri. Serta, sudah dapat ijin orangtua juga untuk belajar motor, agar bisa.
Akan tetapi, justru si anak belum mau melakukannya. Bahkan ada yang tidak berminat sama sekali .
Alasan mereka, kenapa harus repot-repot belajar membawa motor sendiri, jika aplikasi pemesanan ojol, dan aplikasi penunjuk arah ada digenggaman? π .
- [Simak juga tulisan: Catatan Tentang Seorang Anak Laki Remaja Abege di Usia Puber]
Mereka mungkin baru akan kelimpungan jika internet tiba-tiba tidak bisa diakses, shutdown, atau dibatasi penggunaannya? π³ .
Rasa Sangat Penasaran Terhadap Motor
Dalam pertumbuhan seorang anak, apakah itu karena pengaruh lingkungan, permainan, ataupun tontonan yang dilihat. Ada masanya anak-anak itu begitu penasaran ingin segera bisa naik motor sendiri.
Dan itu terjadi ketika usia mereka masih sangat-sangat belia, yaitu dikisaran kelas 4 SD. Setelah mereka mulai merasa sudah sangat lihai bersepeda roda dua π³ .
Dalam kondisi seperti itu, respon orangtua saat itu, akan sangat menentukan sikap dan cara pandang seorang anak selanjutnya terhadap kendaraan bermotor.
Contoh kasusnya:
1. Belajar motor ga jadi. Trauma jatuhnya iya.
Saya pribadi, dulu karena merasa sudah jatuh bangun dengan sepeda, juga mulai ingin belajar naik motor. Tapi, ketika minta diajarkan, almarhum bapak dengan tegas melarang.
Alasan beliau, ntar kenapa-kenapa dengan saya. Kalau ada perlu, saya tinggal jalan kaki, naik sepeda, atau angkutan umum saja.
Saya pun menurut, karena di kampung waktu itu masih jarang anak perempuan remaja yang bisa naik motor.
Akhirnya, saya tidak pernah mencoba belajar motor sama sekali.
Walaupun demikian, mulai dari ada keinginan sendiri untuk belajar motor itu hingga kelas 1 SMP, saya sudah 3 kali jatuh dari motor. Semuanya sebagai penumpang.
Mungkin, ketika duduk di belakang itu, saya melongok-longok apa yang dilakukan orang yang sedang membawa motor. Entahlah, lupa.
Untung pas kejadian, motor jalannya pelan, hingga hanya kaki saya yang kena knalpot motor. Dua bekas luka kena knalpot itu bahkan hingga kini masih tampak.
Karena tidak pernah membawa motor sendiri, tanpa saya sadari, ada efek lain dari jatuh sebagai penumpang itu.
Kalau tidak terpaksa banget, saya tidak mau boncengan motor. Apalagi kalau yang bawa motor pinggangnya tidak bisa dijadikan pegangan (baca: peluk) π³ . Sebagai penumpang, saya juga tidak bisa duduk menyamping. Bawaannya berasa mau jatuh aja.
Kalau harus menggunakan ojek, saya pasti pegangan pada bagian tempat duduk belakang motor. Tentunya dengan tidak lupa mengingatkan sebelum naik motor, alias sembari berpesan, “bawanya pelan-pelan aja, bang. Saya ga buru-buru kok” *orang naik ojek mah untuk menerobos macet biar cepat* .
Saya baru belajar motor itu, ketika sudah punya anak yang duduk di TK yang harus diantar jemput. *udah ketuaan*.
2. Bisa bawa motor. Tahu kondisi, tapi jatuh juga
Nak bujang saya sudah bisa sepeda roda dua orang dewasa itu ketika dia masih duduk di TK B. Nah, awal-awal kelas 4 SD dia juga mulai begitu penasaran dengan motor.
Karena postur badannya lumayan tinggi, saya pun mengajaknya berdialog, menjelaskan kenapa anak-anak belum diperbolehkan membawa motor.
Saya percaya bahwa sekali belajar, dia pasti bisa.
Akan tetapi, konsentrasi, fokus, dan rasa tanggung jawab mereka belum matang. Pengguna jalan itu banyak, keselamatan diri sendiri dan pengguna jalan lain perlu saling menjaga.
Itupun saya tidak langsung memberi ijin. Tapi berbicara pada teman hidup, bahwa anaknya sudah kebelet ingin bisa naik motor sendiri. Saya berpikir, mending dia belajar dari orangtuanya, daripada dia main belakang nyoba-nyoba motor temannya.

Keesokan harinya, pulang dari mencari apa, anaknya laporan dengan wajah penuh semangat bahwa tadi dia dikasih tau sama bapaknya cara membawa motor, dan diberi ijin mencobanya. Dia langsung bisa.
Saya tersenyum sembari mengingatkan bahwa walaupun sudah bisa membawa motor sendiri, dia hanya diperbolehkan membawa motor jika ada pendampingan orang dewasa.
Si anak setuju.
Ternyata, rasa penasaran anaknya juga segitu aja.
Tidak yang memaksa mencoba jalan yang ramai dengan naik motor. Bahkan, ketika janjian sama temannya di komplek perumahan sebelah, dia memilih minta diantarkan dan dijemput. Alasannya, jadi penumpang itu tinggal duduk aja π .
Sekolahnya juga selalu mengingatkan bahwa anak SMP dilarang membawa motor sendiri.
Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak.
Setelah dia bisa naik motor, postur badannya juga sudah semakin tinggi, saat muter-muter berdua, dan sedang dibonceng bapaknya, mereka sempat dua kali terjatuh dari motor.
Yang pertama, dijalan berbelok, keluar badan jalan yang lumayan tinggi. Anaknya ga kenapa-kenapa, kaki bapaknya bengkak dan terkilir lumayan parah.
Yang kedua, saat mau belok, ada batu yang luput dari perhatian dan menghalagi. Motor oleng, bapaknya ga apa-apa, kaki anaknya kena knalpot.
Hmmm,,, motor tetap memberikan jejak pada kaki yang menaikinya, walaupun badan sudah tinggi besar, atau usia sudah sepuh.
3. Ga jadi belajar. Hingga tiba masanya, orangtua kebingungan mau ngajarin!
Dua ponakan saya punya postur badan yang sudah tinggi-tinggi.
Ketika SD, keduanya masih punya keinginan untuk bisa naik motor, orangtua masih merasa agak keberatan. Sebab, si abang sudah bisa juga, ga perlu terburu-buru mengajarkan adek-adeknya. Lagian, jika mereka belajar juga tidak akan diperbolehkan membawa motor sendiri kalau beraktivitas. Nanti aja kalau waktunya sudah tepat.
Rasa penasaran anak-anak itu untuk bisa menaklukkan motor, pun terlewatkan.
Sekarang, dua anak itu sudah duduk di kelas XI dan XII SMA, orangtuanya kebingungan, gimana mau ngajarin anaknya bawa motor dengan tetap ikut mendampingi. Anak-anak sudah tinggi, kalau duduk, pandangan orangtuanya sudah ketutup badan anak.
Padahal, kurang dari dua bulan lagi, anak yang kelas XII sudah bisa mempunyai SIM π¦ .
Sementara, si abang yang sekarang kuliah di pulau yang berbeda, ketika mencapai usia 17 tahun dan mengurus SIM, malah sudah bisa membawa kendaraan roda empat. Walaupun dalam semua aktivitasnya selalu diantar jemput. *Untuk dua adeknya, orangtuanya benar-benar berasa bingung* .
Pesan moralnya, rasa penasaran anak akan ketrampilan itu perlu disalurkan dan diarahkan dengan baik. Ga usah dipatahkan. Karena, masing-masing anak punya jalan sendiri, tidak selalu ngumpul bersama saudara dan orangtuanya.
Anak Remaja Harus Bisa Naik Motor. Tapi Harus Dalam Pengawasan Orangtua Ketika Menggunakannya!
Sama seperti sepeda, bisa naik motor itu merupakan sebuah kecakapan.
Percayalah, tidak semua orang mau atau pun punya keberanian untuk naik motor sendiri.
Masih ragu, ahh. Anak remaja kan suka semaunya!
Biasanya, saya jadi penumpang nak remaja bujang ketika berada di jalan alternatif yang tidak terlalu ramai. Itupun setelah dia duduk di kelas IX. Ketika di jalan utama, jalan yang ramai, nak remaja bujang tetap jadi penumpang emaknya.
Walaupun, dia sudah bisa menilai bahwa emaknya membawa motornya masih kasar. Sudah tertinggal jauh dari cara anaknya membawa motor.
Tapi, yang punya Surat Ijin Mengemudi (SIM) itu kan emak, anak harus tetap duduk manis jadi penumpang hingga usianya mencukupi π³ .
Sepanjang saya motoran berdua dengan nak bujang, sangat banyak ditemui di jalan, saat ini orang dewasa yang membawa motor juga tidak mengindahkan aturan berkendara.
Bukan hanya emak-emak atau anak gadis remaja yang ngasih sen kiri, beloknya ke kanan. Banyak juga bapak-bapak atau mas-mas muda yang melakukan hal yang sama.
Kita yang melihat kondisi seperti itu di jalan, mending memilih jalan pelan aja di belakang, tetap jaga jarak. Antisipasi jika berbelok tak sesuai tanda yang terlihat itu .
Memang sih, masih ada juga beberapa anak remaja yang naik motor seperti lupa kalau mereka sedang berada di jalan untuk umum.
Apalagi jika di jalan yang agak sepi. Mereka membawa motornya meliuk sana, meliuk kesamping sini, dengan suara knalpot yang memekakkan telinga.
Itu semua mutlak menjadi tanggung jawab kedua orangtua.
Akan tetapi, jika kondisi anak remaja sudah memungkinkan dan dia juga memintanya, sebelum memberikan ijin dan mengajarkan, orangtua wajib memberikan pengertian:
* Naik motor itu hanyalah alat transportasi menuju ke suatu tempat. Untuk bisa menggunakannya di jalan raya harus ada SIM (Surat Ijin Mengemudi) dulu. Belajar saat ini, hanya untuk bisa, bukan digunakan untuk beraktivitas sendiri.
* Jika ingin balapan, lakukan di sirkuit, bukan di jalanan.
* Ketrampilan membawa motor ini perlu dikuasai. Karena kita tidak tahu dalam sebuah kegiatan, kapan bantuan seorang anak remaja diperlukan untuk memboncengi orangtuanya. Tujuannya bukan untuk pamer!
Kesimpulan:
Terkadang, anak menjelang remaja itu jika sudah punya mau, kemudian diberi kepercayaan, hal itu akan menjadi motivasi dan semangat. Begitu juga sebaliknya, jika dilarang tanpa penjelasan, mereka akan jalan di tempat, atau melampiaskan rasa ingin tahunya tanpa sepengetahuan orangtua. Hal itu justru berbahaya.
Orangtua dan anak tidak boleh lupa, bisa naik motor bukan berarti bisa mnggunakannya. Tetap harus menunggu usia cukup.
So, temans termasuk orangtua, atau kakak, yang memuaskan rasa penasaran anak atau adeknya yang baru mau beranjak remaja untuk naik motor dengan syarat, atau langsung melarang, menunggu usia yang diperbolehkan?
Saya memilih mengijinkan untuk belajar, tapi penggunaannya dengan pengawasan ketat kayaknya π
SukaDisukai oleh 1 orang
Yups, mba.
Semua kembali pada orangtua dalam pengawasannya.
Ga ada ceritanya anak kecil dibiarkan membawa motor sendiri dalam aktivitasnya π .
SukaSuka
[…] ini, mengajarkan kebiasaan baik pada anak remaja, seperti puasa Sunnah Senin Kamis ini, dan banyak hal baik lainnya lagi, tidak hanya cukup dengan […]
SukaSuka