Anak Harus Bisa Berenang!


Anak harus bisa berenang! Itu menurut pendapat saya pribadi. Bisa berenang yang dimaksud bukan keahlian renang yang seperti seorang atlit. Tapi, setidaknya anak bisa bergerak di dalam air dari satu tempat ke tempat lain. Anak tidak takut duluan berada dalam air, apalagi kita ini tinggal di negara kepulauan.

Anak Desa/Kampung Jago Berenang? Belum Tentu!

Mungkin di blog ini sudah sering saya ceritakan tentang saya dan sungai. Saya lahir dan dibesarkan di sebuah desa yang diapit oleh dua aliran sungai besar.

Bahkan, bangunan Sekolah Dasar saya hanya beberapa langkah dari pinggir sungai. Tanah bangunannya berada agak lebih tinggi dibandingkan badan sungai.

Boleh dibilang, waktu kecil, setiap pulang sekolah, hari-hari saya bermain, ada di sekitar sungai.

Akan tetapi, adik yang usianya tiga tahun di bawah saya adalah anak rumahan. Jarang main di sungai.

anak-harus-bisa-berenang

Desa saya walau diapit sungai besar, belum pernah banjir. Karena tanah tempat perumahan penduduk bermukim ada di ketinggian. Kalau air sungai meluap, hanya rumah-rumah yang terlalu berada di bibir sungai yang terbawa arus.

Sekarang ini, karena banyak lahan yang beralih fungsi, air sungai sering meluap. Akibatnya, persawahan yang berada di pinggir sungai sering terbawa air sungai yang meluap.

Bisa Berenang di Sungai, Tapi Kagok di Kolam Renang?

Anak kampung seperti saya bukan jago renang menurut teori renang yang diajarkan di buku. Kami bisa berpindah tempat di sungai arus deras hanya karena sudah terbiasa menggerakkan tangan dan kaki agar tidak terseret.

Kalau generasi saya, bisa menyeberangi sungai berarus, tapi mengapungkan badan dalam posisi diam dalam air tidak ada yang bisa.

Beda dengan anak-anak sekarang yang sudah belajar teori dasar berenang. Mereka juga bisa ngambang di sungai yang berarus.

Renang seru di sungai yang saya dkk maksud itu adalah, kami terjun dari ketinggian beberapa meter ke dalam sungai. Tempat terjun itu bisa dari bebatuan besar yang ada di pinggir sungai, atau dari dahan pohon yang menjorok ke sungai. Setelah kepala muncul dari air, kami pun dengan cepat menepi.

Kegiatan bermain di sungai waktu kecil itu begitu terus hingga capek dan mata merah.

Berenang ala kami dulu itu, sangat mengasyikkan.
Sungai kala itu merupakan tempat bermain yang paling menyenangkan.

Berenang, Anak Harus tetap Waspada!

Satu waktu, saking asyiknya berenang, tanpa disadari air sungai bertambah debitnya dengan cepat. Hal itu karena hari hujan di hulu sungai yang berada berkilometer di pegunungan. Tentu kami tidak mengetahuinya.

Saya dan beberapa anak yang sedang berenang sempat terseret, tapi beruntung posisi kami ada di pinggir sungai, hingga kami bisa meraih akar-akar pohon dan selamat.

Saat itu, tidak ada perasaan apa-apa. Tapi semakin besar, mengingat hal tersebut, baru merasa agak bergidik, membayangkan jika waktu itu kami terseret arus bah.

—-> Pesan moralnya, bermain air di sungai, harus waspada terhadap air bah!

Berenang di Sungai, Beda Dengan di Kolam 

Sewaktu SMA, ada pelajaran renang. Karena SMA-nya terletak di ibu kota Provinsi, tentunya belajar renangnya di kolam renang sungguhan, di GOR.

Anak sungai seperti saya ketemu kolam renang yang tenang, sempat kagok. Belum lagi, belajar gaya renangnya di kolam cetek. Pelajaran renang menurut saya kala itu tak ada seru-serunya 😳 .

Anak saya, juga sangat suka bermain air, tapi tentu dia termasuk anak kota. Belajar renangnya di kolam renang.

Bahkan dia sempat ada ‘drama’ ngadat gak mau belajar renang lagi, karena tempat belajar renang itu gurunya dituntut untuk menemukan anak-anak berbakat, untuk calon atlit.

Tujuan saya bukan itu.

Anak saya senangnya bermain air. Saya tujuannya meluluskan keinginan untuk belajar renang di usia TK, hanya agar anak bisa mengapung, berpindah tempat di dalam air, dan tau cara bernafas dengan baik. Itu sudah cukup.

Alasan lainnya, karena kalau mudik, mau ke kampung saya atau kampung bapaknya, selalu akan bertemu dengan sumber air berlimpah.

Kami sebagai orangtua berharap, saat anak bertemu sungai di kampung orangtuanya, dia bisa merasakan juga betapa seru dan nikmatnya bermain air di sungai.

Sama seperti saya yang terbiasa dengan sungai, agak kaget bertemu dengan kolam renang pertama kali. Begitupun dengan anak saya. Berenang di kolam renang, tentunya berbeda dengan berenang di sungai yang ber-arus.

Walau saya sudah wanti-wanti agar saat berenang jangan panik, yang penting tetap atur nafas, dan menggerakkan kaki serta tangan.

Namanya pengalaman pertama, begitu kakinya diangkat dari pijakan berdiri, arus sungai langsung menggerakkan tubuhnya, dia panik.

Semua kepandaian berenang di kolam renang pun hilang seketika.

Dia menggapaikan tangan, langsung saya raih.
Dia bilang kalau dia serasa seperti mau tenggelam, kakinya gak mau gerak.

Waspada dengan rasa panik yang kadang muncul tiba-tiba

Saya pun menenangkan dan kembali menjelaskan bahwa berenang di sungai, tantangannya dia harus bisa menyeimbangkan badannya dengan arus sungai.

Selanjutnya, acara berenang di sungai pun berjalan lancar.

Sekarang ini, kangen berenang di sungai merupakan salah satu alasan anak untuk mengajukan proposal mudik ke kampung halaman.

Kolam Renang Pun Bisa Menjadi Penyebab Duka

Hampir dua tahun yang lalu, mendekati tahun ajaran baru, saya mendapat sms dari salah satu sahabat, mengabarkan bahwa anak pertama dari salah satu sahabat dekat saya saat kuliah, yang mau masuk SMA, telah berpulang. Penyebabnya, tenggelam agak lama di kolam renang!

Badan saya menggigil, terdiam, tak percaya membaca kabar duka itu.

Saya ingat kenangan saat mudik reunian dan singgah ke rumah si sahabat.

Teringat betapa supelnya keponakan satu itu ketika ia masih SD. Bahkan, saat dia sudah punya FB, dan saya upload foto-foto lama, dia sempat memberi komen bahwa mama dan teman-teman mamanya waktu kuliah terlihat culun.

Saya juga ingat percakapan terakhir dengan si sahabat sebelum menerima kabar duka tersebut. Sahabat saya begitu bangga dengan anak pertamanya itu, “Anak gw ganteng, Ripp *panggilan sayang dari beberapa sahabat untuk saya*. Anaknya pinter, nurut, gak ‘bandel’ kayak gw”.

Setelah menarik nafas mengingat kenangan yang bersileweran, saya coba menghubungi ponsel si sahabat. Tentu saja dia tidak akan sempat memegang ponselnya. Saya saja yang mendengar berita itu begitu kehilangan, bagaimana dengan dia dan suami, serta keluarga besarnya.

Akhirnya, saya pun menghubungi sahabat lain, untuk memastikan kabar duka tersebut.

Beberapa hari kemudian, sahabat saya membalas semua ucapan duka yang masuk ke ponselnya. Saya pun menelponnya.

Si sahabat menceritakan kronologis kejadiannya. Pada hari tersebut, dia dan si anak ganteng (Ghazy), serta anak cantiknya, pergi ke SMA terbaik sekaligus favorit di Padang kota (almamater SMA saya) untuk mendaftar ulang, sekaligus mengukur baju seragam.

Ghazy dan teman-teman satu SMPnya, sebelumnya sudah janjian bahwa hari itu mereka akan bermain bulu tangkis di salah satu stadion Olah Raga baru. Acara kegiatan terakhir bersama setelah tamat SMP, sebelum menyebar ke SMA berbeda.

Sahabat saya dan suaminya pun sudah tahu rencana itu.

Tapi, saat dia melihat Ghazy berkemas, bukannya membawa raket badminton, tapi malah mempersiapkan celana renang. Sahabat tidak sigap bertanya seperti biasa, hanya sempat membathin, “ini anak bukannya mau main badminton? Ah, mungkin yang bawa raket temannya.”

Setelah urusan ke SMA selesai, sahabat pun mengantarkan Ghazy ke depan stadion, dan berpesan agar hati-hati, dan pulangnya nanti bakal dijemput papanya.

Ini juga hal yang tidak biasa dilakukan oleh si sahabat. Biasanya dia selalu menunggu tak berapa jauh dari lokasi anaknya berkegiatan di luar jam sekolah.

Hari itu, si sahabat merasa begitu mempercayai anaknya sepenuhnya. Seperti ada perasaan agak ingin memberi sedikit ruang pada si anak. Karena si anak sudah berhasil membuktikan janjinya bahwa dia pasti akan keterima di SMA incarannya dan incaran kedua orangtuanya dulu.

Dan anak sholeh sudah membuktikan dirinya. Pada tingkatan usia yang sama, dia lebih baik dari kedua orangtuanya, bisa keterima di SMA incaran semua anak yang bernilai bagus.

Sahabat saya taunya, anaknya bermain badminton di stadion tersebut, bukan berenang.

Kalau berenang, sahabat saya pasti tak mengasih izin, karena selama ini Ghazy tidak begitu suka dengan kegiatan itu. Saat adik perempuannya asyik berenang, Ghazy lebih memilih hanya duduk. Dia bisa berenang, tapi belum begitu lancar.

Tak berapa lama nyampai rumah, sahabat pun mendapat telpon bahwa anaknya mengalami kecelakaan di kolam renang.

Sahabat tentu saja ga percaya. Bagaimana bisa? Di tempat yang sangat ramai?

Di lokasi kejadian, sahabat pun menerima laporan bahwa Ghazy dan teman-temannya, awalnya berenang di kolam yang tak terlalu dalam. Kemudia ada salah satu yang memberi ide untuk berenang ke arah yang dalam. Mereka pun beramai-ramai ke tengah. Bermain dan bercanda.

Kemudian, teman-teman Ghazy menepi. Dia tertinggal. Begitu merasa sendiri, Ghazy sepertinya tersadar bahwa dia sebenarnya belum lancar berenang, dia panik, menjulurkan tangan minta tolong.

Apesnya, teman-teman dan orang-orang ramai yang juga sedang berenang, mengira dia sedang bercanda.

Akhirnya, Ghazy ga kuat menahan berat badannya, dia tenggelam. Dalam keadaan seperti itu pun, orang-orang yang melihat, masih mengira dia becanda.

Ada seorang bapak-bapak yang juga sedang berenang, mulai menyadari bahwa Ghazy tidak sedang bercanda, sudah terlalu lama di dasar kolam. Si bapak menarik Ghazy yang ternyata sudah tak sadarkan diri.

Pengawas lapangan yang berada tak jauh dari kolam, memberi laporan pada sahabat, bahwa Ghazy hanya sebentar di dasar kolam.

Tapi, setelah Ghazy berpulang, dan dilihat rekaman CCTV, diketahui bahwa Ghazy lumayan lama menggapai-gapai minta pertolongan, tapi orang sekitarnya tak menyadari kalau dia serius minta tolong.

Ini jadi pelajaran bagi kita semua:

Jangan suka menjadikan hal-hal serius sebagai candaan. Sebaliknya, jangan melihat sesuatu yang serius, dalam kacamata candaan.

Saling peduli lah.

Dalam kasus ini, ketika Ghazy menggapaikan tangannya pertama kali, harusnya segera ditolong. Kalo ternyata ia becanda, dia boleh dimarahi.

Ghazy sempat dilarikan ke rumah sakit terdekat, dan sempat membaik.

Tapi, Sang Pemilik Kehidupan jauh lebih menginginkan Ghazy. Dia pun berpulang ke rumah keabadian. Dia akan menjadi pembuka pintu surga untuk kedua orangtuanya kelak. Inshaa Allah.

Rasa panik yang dialami Ghazy di tengah kolam dan orang-orang yang melihatnya seperti candaan saat minta tolong, mungkin itu hanya menjadi salah satu penyebab dari Sang Maha Tahu, tentang batas akhir usia manusia di dunia.

Keluarga sahabat saya sudah mengikhlaskan kepergian Ghazy.
Mereka tidak memperpanjang kasus tersebut, karena walau bersitegang panjang di pengadilan, itu tidak akan mengembalikan Ghazy. Bahkan bisa jadi membuat langkah Ghazy tidak tenang.

Keluarga hanya menekankan pada pihak stadion agar kasus seperti itu tidak terulang kembali.

Saya sendiri perlu waktu hampir dua tahun agar bisa menuliskan ini. Semoga bisa diambil manfaatnya.

Maut memang sesuatu yang pasti, tapi kapan dan di mana, serta yang menjadi alasannya, itu rahasia DIA Sang Pemilik Hidup.

***
Sista, semoga kau sekeluarga selalu diberi kekuatan dan kesabaran menjalani semuanya.

31 comments

  1. 😦 sedih saya bacanya mbak. semoga Ghazi tenang bahagia di pangkuan-Nya. ini jadi pelajaran buat saya, minggu depan murid- murid ngajak renang bareng, jadi saya harus briefing mereka dulu dengan cerita ini supaya nggak main- main di kolam renang. biatnya becanda malah ada korban jiwa.. 😦
    ohya.. berenang itu perlu banget sih mbak. saya sejak kecil sama ibuk sudah dicemplungin di kolam. dan semua adek juga begitu. alasannya sederhana, supaya nggak malu kalau pas ngumpul sama teman- teman. hehe.

    Disukai oleh 1 orang

    • Betul banget tuh Tutus, anak-anak sekarang mereka becandanya suka kelewatan. Udah tau temannya sudah mau menangis, mereka masih aja ketawa2 ga percaya.
      Iya, karena disekitar kita banyak air. Bahkan tubuh kita sendiri terdiri dari ciran.

      Disukai oleh 1 orang

  2. Hikksss, aku sampe usia segini masih gagap soal renang mba Salmaa.. dulu juga pas SD udah sering tenggelam, trus nyampe rumah dobel lagi kena marah hahaha.. kapok deh

    Disukai oleh 1 orang

  3. Turut berduka buat Ghazi. 😦
    Saya pun kalau diajak berenang selalu menolak, karena sejak SD sampai sekarang sama sekali gak bisa berenang.
    Tapi kemarin sempat main di waterpark sih, cuma lebih mending daripada kolam renang biasa.

    Disukai oleh 1 orang

    • Waterpark arena bermainnya memang menyenangkan ya Gung. Ada yg memacu adrenalin juga, tapi kolamnya ga dalem.
      Anak saya suka main air soalnya, jadi kudu bisa renang dianya.

      Suka

  4. Rumah deket sama kali, tapi sampai sekarang tidak bisa-bisa berenang, sepertinya saya tidak cocok hidup di air. Main air di kali pas kecil terkadang banyak sekali benda-benda kecil yang berbahaya, baik tajam maupun lembek.
    Maka dari itu nanti anak saya kalau sudah cukup umur mau saya benamkan keterampilan benerang, berburu serta berkuda. hehe

    Disukai oleh 1 orang

  5. Dulu waktu masih kecik suka sekali main air di sungai . Tapi, heran sampe sekarang tetap nggak bisa berenang #hiks
    Anak anak memang sebagusnya dilatih untuk bisa berenang sejak dini. Banyak manfaatnya. Selain juga merupakan salah satu perintah Nabi untuk mengajarkan anak belajar memanah, berkuda, berenang dan bermain pedang #yanginimungkinbuatkeahliansaja

    Disukai oleh 1 orang

    • Saya juga ga bisa berenang di kolam yang tenang, tapi disungai karena berarus, jadi ga perlu terlalu repot menggerakkan tangan dan kaki 😀
      Ketrampilan yg disunnahkan bagi anak lelaki, semuanya melatih fokus, keseimbangan dan berpikir strategis yg tepat yaa.

      Suka

  6. waah, untung enggak keseret jauh ya mba.. dan saya juga ngalamin, pas dlu tenggelam enggak terlalu yang gimanaaa gitu, eh sekarang pas diinget inget lagi emang bikin bergidik

    Disukai oleh 1 orang

Terima Kasih Untuk Jejakmu, Temans :)

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.