Obor (Oncor) salah satu alat penerang pada waktu lampau, dibuat dari seruas bambu yang diisi minyak tanah dengan menggunakan sumbu dari kain bekas.
Waktu saya masih kecil, kalau mau melakukan aktivitas di malam hari pasti menggunakan Obor (Oncor) ini sebagai alat penerang. Atau menggunakan alat penerang lain, yaitu suluh, terbuat dari daun kelapa kering yang diikat sedemikian rupa, kemudian ujung satunya dibakar.
Obor atau oncor maupun suluh digunakan oleh nak-anak yang mau ke surau untuk mengaji setelah magrib, orang dewasa yang mau memancing atau menangkap ikan ke sungai, ataupun untuk mencek air sawah, atau bapak-bapak yang siskamling di malam hari.
Tetapi cuma sebentar Obor, Oncor, suluh ini sebagai penerang, sebelum akhirnya berganti dengan alat penerangan lain.
Kemudian, Obor (Oncor) hanya dipergunakan sekali setahun aja, untuk pawai takbiran keliling di desa, tetapi ini juga cuma sempat saya alami dan lihat sebentar. Kemajuan alat transportasi, teknologi alat penerang dengan baterai serta listrik menggantikannya.
Dua tahun lalu, saat keluar rumah, secara kebetulan kami berpapasan dengan pawai keliling salah satu ormas, salah satu iring-iringannya adalah pawai obor. Itulah kesempatan pertama kami memberitahukan kepada Junior alat penerang yang bernama Obor (Oncor) itu secara langsung, bukan lihat di TV. Junior ysalma sangat penasaran.
Mudik lebaran ke kota Joko Wi sempat bertemu malam takbiran. Ternyata kebiasaan takbir keliling dengan pawai Obor (Oncor) masih dipertahankan di sekitar daerah itu. Junior diajak ikut sama sepupunya, dia menyambut ajakan itu dengan semangat sekali. Sebuah pengalaman baru.
Sebelum berangkat takbiran dengan pawai obor keliling, junior “bertukar pikiran” dulu sama emak sambil bisik-bisik, “Ntar kalau ada yang ngajak ngobrol pakai bahasa Jawa, gimana ya, Mam”.
“Jawab dengan bahasa Indonesia dan senyum aja, masukan dari emak 🙂 “.
Pulang pawai obor keliling, junior cerita ke emak, “Peserta pawai dikasih hadiah buku tulis 4 buah, pulpen dan uang 5rb rupiah. Trus, ada yang nanya aku pakai bahasa Jawa, aku cuma senyum angguk-angguk kepala aja, gak ngerti” 😆 .
Photo jadi peserta pawai Obor (Oncor) lagi istirahat minum. Obor (Oncor)nya dipadamkan.


aduhh jd inget dulu…suasana dulu indah biar pakai obor..hehee…
SukaSuka
Zaman sekarang di desaku sudah ngga ada ONCOR lagi mbak, semuanya pada main PETASAN. Kemerosotan budaya…
SukaSuka
Di tempat saya sekarang sudah tidak ada lagi hal seperti ini …
Padahal duluuu … pawai obor ini adalah moment yang ditunggu-tunggu …
jalan malem-malem sambil bawa obor … keliling kompleks
Miss that momment
salam saya Bu Salma
SukaSuka
waahhh,, junir lucu sekali,,,,
bisa aja nanya kaya gitu ke emaknya,,,, hehehe
malam takbiran kemaren juga saya ikut takbir keliling bu,, bawa obor juga,,, cuman karena keterbatasan minyak, jadi agak diirit-irit obornya… hehehe
SukaSuka
masa lalu yg indah
SukaSuka
Jadi inget waktu pulang ngaji duluuuuuuu …
SukaSuka
Saya baru tau oncor itu nama lain dari obor. biasanya jika saya ke desa oncor ini masih di pakai oleh beberapa tetangga saya…
SukaSuka
Haha.. Saya baru ingat istilah obor dalam bahasa minang itu suluh.. Dulu, saya kerap menggunakannya sewaktu di kampung. Yakni kalau pergi ke surau bersma nenek untuk mengaji atau salat tarawih.. Aih.. Jadi ingat masa kecil nih.. 🙂
Sejak tinggal di Jogja, anak-anak saya sudah terbiasa dengan obor ini, terutama setiap malam takbiran. Mereka selalu ikut, karena di lingkungan kami, itu adalah kegiatan rutin tahunan.
SukaSuka
heheh.. anaknya ajarin bahasa jawa juga mbak.. biar gak angguk2 aja… salam kenal ya mbak.
SukaSuka
iya sob dl ramai bgt klo pas takbiran……. mohon maaf lahir n batin
Salam persahabatan selalu dr MENONE
SukaSuka