Catatan Idul Adha 1445 H, Berjaga di Ruang Tunggu HCU Rumah Sakit


catatan lebaran idul adha di rumah sakit

Idul Adha 1445 H atau Senin, 17 Juni 2024 saya lalui di bangku lorong ruang tunggu HCU (High Care Unit) Rumah Sakit Hermina Mekarsari Cileungsi. Sebuah pengalaman yang tidak pernah terlintas dalam pikiran.

Walau Teman Hidup sudah didiagnosa sebagai pesien pembengkakan jantung, saya selalu berdo’a agar Teman Hidup dimudahkan melalui semua proses pengobatan rawat jalan, jangan sampai di rawat inap atau opname.

Sebab, menjadi pasien atau menunggu pasien yang sedang dirawat di rumah sakit itu seperti sebuah ketakutan di alam bawah sadar.

Semakin bertambah usia, semakin sadar diri dengan kondisi badan saya yang ringkih, kalau harus berjaga di rumah sakit, bukannya memberikan support yang sedang sakit agar cepat membaik, ada ketakutan malah akan jadi pasien rumah sakit juga. Hiks.

Semuanya berkaca dari pengalaman menemani rawat jalan hampir dua tahun belakangan ini, kalau ada yang bersin atau batuk-batuk di sekitar saya saat di rumah sakit, setelah nyampai rumah, Teman Hidup baik-baik saja kondisinya, tapi suara saya mulai bindeng dan harus minum ‘dopping‘ agar tidak berlanjut terkena flu.

Ternyata, Allah Maha Tahu dan Maha Berkuasa atas segalanya, semua kecemasan dan ketakutan tentang daya tahan tubuh saya sendiri tidak seperti yang diperkirakan.

Walau kurang istirahat, makan tidak teratur selama berjaga di IGD, ruang tunggu HCU, dan ruang rawat inap, Alhamdulillah tubuh saya baik-baik saja.

Sangat terbukti janji Allah dalam Q.S Al Baqarah:286, “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.”

Catatan Idul Adha 1445 H, Menunggu Anggota Keluarga yang Sakit di Rumah Sakit

Kamis, 13 Juni 2024 sekitar pukul 9.30, saya dan Teman Hidup pergi ke faskes pertama untuk memperpanjang surat rujukan, karena rencananya hari Sabtu bakal kontrol ke poli penyakit dalam, dan hari Selasa tanggal 18 Juni lanjut kontrol rutin ke poli jantung.

Setelah mendapatkan surat rujukan, sudah waktunya makan siang, Teman Hidup mengajak makan di warung Sunda yang lokasinya tidak jauh dari faskes pertama. Makan siang-nya Teman Hidup ‘mbandel’ makan sambal yang katanya enak, kondisi asam lambungnya diabaikan. Protes saya nggak digubris.

Nyampai rumah sekitar pukul 2 siang, beliau istirahat. Sore masih nyemal nyemil. Kondisinya seperti biasa. Malam hari, menjelang waktu Isya, Teman Hidup mengeluh kalau dia merasa dingin, saya selimutin. Tetiba badannya menggigil, nafasnya agak sesak. Teman Hidup saya peluk dan tenangkan.

Karena Teman Hidup juga sedang mengonsumsi obat pengontrol gula darah, saya meminta Nak Bujang untuk mencari info pertolongan pertama pada pasien hipoglikemia.

Teman Hidup kami berikan teh manis hangat chamomile. Saya juga cek gula darah beliau, ada diangka 123, normal. Tapi Teman Hidup terus merasa kedinginan dan menggigil. Awalnya ditawarkan untuk dibawa berobat ke IGD rumah sakit, dia menolak.

Setelah setengah jam menggigil, Teman Hidup akhirnya minta dibawa ke IGD rumah sakit biasa kontrol rutin.

Saya pun mempersiapkan Teman Hidup dan barang-barang yang sekiranya diperlukan di rumah sakit. Perkiraan saya, Teman Hidup nggak mungkin mondar-mandir ke toilet, maka saya pakaikan diapers dewasa, juga membawa cadangan untuk ganti.

Saya juga membawa satu stel pakaian ganti untuk Teman HIdup, sarung, air mineral, serta berkas-berkas untuk berobat yang sekiranya diperlukan.

Nyampai di IGD rumah sakit, Teman Hidup langsung mendapat pertologan, diberikan oksigen, pemeriksaan EKG (Elektrokardiografi), darah, dan banyak lainnya. Teman Hidup harus seminimal mungkin melakukan aktivitas fisik, jadi dipasangkan kateter urine.

Dokter IGD merekomendasikan Teman Hidup untuk dirawat inap di ruang HCU (High Care Unit). Saya menandatangani semua berkas yang diperlukan sesuai prosedur berobat di rumah sakit.

Menunggu dapat ruangan HCU, kita menginap semalam di ruangan IGD. Pagi hari sebelum dipindah ke ruangan HCU, saya menandatangani surat persetujuan untuk tindakan Thoracentesis (prosedur medis untuk mengeluarkan cairan berlebih di paru-paru) yang akan dilakukan pada hari Sabtu, 15 Juni 2024.

Menginap di IGD sepertinya bukanlah kata yang tepat. Bagi yang biasa menonton drama tema kesehatan, akan tau bagaimana sibuknya IGD. Pada malam kami datang itu, pasien anak-anak dan dewasa selalu berdatangan hingga pagi. Nggak pernah stop. Yang awalnya melihat perawat dan dokter di IGD dengan wajah penuh semangat, hingga menunjukkan wajah lelah dan mengantuk. Terima kasih, tetap semangat para nakes!

Jum’at sekitar pukul 10, Teman Hidup dipindah ke ruang perawatan HCU, sebelumnya saya juga menandatangani surat pernyataan bahwa pasien yang dirawat di ruang HCU hanya boleh dilihat selama jam makan oleh satu orang anggota keluarga, pagi sekitar pukul 6-7, siang pukul 12-13, sore pukul 18-19. Tetapi, satu orang anggota keluarga wajib siaga di lorong ruang tunggu HCU.

Yang terdengar jelas di ruang HCU adalah detak monitor kondisi masing-masing pasien. Satu ruangan terbaring dua orang pasien. Nakes di ruang ini juga sibuk memantau kondisi pasien.

Beruntung, kakak sepupu saya yang ada di kampung beberapa kali menelpon dan bertukar kabar. Kebetulan istrinya juga sedang dirawat dengan tindakan medis yang hampir sama dengan Teman Hidup di Padang kota sana, hasil dan respon tubuhnya bagus, tinggal penyembuhan. Sehingga saya punya bekal informasi kalau reaksi tubuh terhadap tindakan medis yang dilakukan tergantung tubuh pasien masing-masing.

Jum’at sore, Teman Hidup sempat mendapat kunjungan dari teman berkegiatan dan tetangga tempat tinggal. Walau ada yang bisa ngobrol sebentar, ada yang hanya melihat dari balik kaca, sangat memberi semangat positif bagi Teman Hidup.

Sabtu sore, Teman Hidup menggigau pertama kali, gula darahnya turun setelah tindakan penyedotan cairan.

Sementara di luar sana, bagi yang merayakan Idul Adha pada hari Ahad 16 Juni 2024, mereka sedang melangitkan takbiran.

Malam Minggu tersebut dua sahabat saya dan keluarganya berkunjung ke rumah sakit, nggak sempat bertemu yang dirawat, tapi kami ngobrol tentang kesehatan yang merupakan anugerah yang dulu waktu muda sering dianggap hal biasa. Obrolan yang membuat kepala saya kembali waras.

Selama empat hari di ruangan HCU, setelah proses penyedotan cairan, Teman Hidup 3 kali nge-drop karena gula darahnya rendah banget, hingga ‘hilang kesadaran’ dan menggigau, tapi untungnya nggak sampai pingsan.

Saya yang berjaga di lorong ruang tunggu HCU sering banget dipanggil ke dalam ruang HCU, membantu menenangkan Teman Hidup.

Sementara itu, Nak Bujang yang mondar-mandir ke rumah membawakan keperluan saya selama menunggu di rumah sakit, seperti alat sholat, sabun cuci muka, sikat gigi, dan odol, serta tikar untuk alas tidur. Terpikirkan untuk membawa alas tidur ketika dapat pojokan yang lebih tenang untuk tempat istirahat. Sebelumnya hanya bisa nyender ke bangku ruang tunggu rumah sakit.

Selama 7 hari jadi penunggu pasien di rumah sakit, saya hanya sempat sekali ganti baju, yaitu setelah Teman Hidup dipindah ke ruang HCU, hari Sabtu sore.

Kemudian, pada hari Senin sore, orang-orang di luar rumah sakit sedang sibuk nyate daging qurban, setelah kondisi Teman Hidup agak stabil di ruang HCU, setelah jam besuk siang, sekitar pukul 14 saya sempatkan pulang ke rumah untuk mandi. Nak Bujang yang menunggu di rumah sakit, dan saya nyampai rumah sakit lagi sebelum jam besok sore, sekitar pukul 17.

Sesampai di rumah sakit, dapat info dari Nak Bujang kalau Bapaknya sudah boleh dipindah dari ruang HCU ke ruang perawatan biasa, dan baru terealisasi sekitar pukul 19.00.

Idul Adha 1445 H kami bertiga di rumah sakit. Teman Hidup di ruang HCU, saya dan Nak Bujang di lorong ruang tunggu-nya. Isi lorong HCU itu bukan hanya kami, tapi sangat ramai.

Selama 4 hari berjaga di sekitar HCU, melihat wajah diam namun menyimpan ketegangan merupakan hal yang umum. Bahkan dua kali melihat keluarga yang harus ikhlas merelakan pasien yang ditunggu, terbebas dari rasa sakit yang dirasakan selama ini, berpulang dalam perawatan medis.

Ada yang meyiasatinya dengan saling mengobrol dengan sesama penunggu pasien. Saya lebih memilih menjadi ‘penguping’ karena merasa nggak punya energi lebih untuk saling menghibur dan bercerita, kepalanya terasa penuh, syukur-syukur sempat terlelap.

Karena Teman Hidup hanya menggunakan BPJS kelas 1, bukan biaya pribadi atau asuransi swasta, banyak printilan yang harus dipersiapkan untuk keperluan sehari-hari.

Jika rumah jauh dari IGD rumah sakit yang dituju, selain mempersiapkan bawaan untuk keperluan pasien, sebaiknya juga langsung persiapkan keperluan untuk anggota keluarga yang bakal menunggu atau menemani pasien di rumah sakit, berjaga-jaga jika pasien perlu rawat inap.

Barang yang wajib dipersiapkan ketika mendampingi pasien rawat inap di rumah sakit:

  • Kartu Identitas, kartu asuransi / BPJS pasien.
  • Rekam medis pasien jika ada.
  • Obat-obatan yang sempat dikonsumsi pasien.
  • Diapers dan kantong untuk membungkus diepers bekas pakai.
  • Tisu basah dan tisu kering.
  • Tumbler air panas, gelas anti pecah, dan sendok.
  • Baju hangat.
  • Camilan untuk pasien yang sesuai dengan kondisi pasien.
  • Obat kumur untuk pasien.
  • Jika pasien dirawat di ruangan HCU, pasien akan menggunakan baju rumah sakit, tapi jika sudah di ruang perawatan biasa, pasien butuh baju ganti.
  • Bantal, dalam kondisi tertentu, seperti Teman Hidup saya yang posisi untuk istirahat yang nyaman harus setengah duduk, maka perlu bantal tambahan untuk menyangga punggung.
  • Alas tidur praktis yang hangat, mudah dirapikan dan dibawa, untuk penunggu pasien, karena ada kalanya tubuh butuh diluruskan, nggak mempan hanya berselojor di kursi.

Oiya, ketika sudah di ruang perawatan, rekan-rekan berkegiatan Teman Hidup dan tetangga yang punya kesempatan dan waktu, pada berkunjung. Alhamdulillah sangat men-support. Terima kasih semuanya, karena meluangkan waktu pada hari-hari merayakan lebaran Idul Adha untuk menjenguk ke rumah sakit.

Selama ini, saya selalu sedih kalau mendengar rangorang yang mulutnya ringan, mudah menyimpulkan bahwa mereka yang tak datang menjenguk orang sakit, merupakan sosok yang tidak peduli, kurang empati, dsb-nya.

Saya pribadi pernah punya pengalaman menjalani operasi lebih dari empat jam, di perantauan dan hanya ditunggu satu orang kenalan. Saya berpikir positif bahwa kondisi yang berjauhan dan kesibukan masing-masing tidak memungkinkan untuk menjenguk. Sangat maklum.

Pernah juga, karena memungkinkan, saya dan Teman saling bergantian menunggu teman lain yang sedang dirawat di rumah sakit. Kalau bisa, kenapa tidak?

Percayalah, selalu ada alasan yang menyertai seseorang tidak dapat melakukan sesuatu. Betapa mereka sangat ingin seperti rangorang yang selalu diberi kemudahan untuk meluangkan waktu dan melangkahkan kaki, tapi kondisinya tak memungkinkan, dan tak memiliki tenaga juga untuk menyampaikan alasan. Kita tidak pernah tahu persis, apa yang sudah dan sedang mereka lalui.

Yuks selalu belajar berpikir positif tentang orang-orang yang singgah di hidup.

Salam sehat semuanya dari catatan jejak #Kabar dari mata, rasa dan pikiran YSalma. Semoga menjadi Haji dan Hajjah yang mabrur bagi yang menunaikan ibadah haji. Semangat berproses untuk dapat beraktivitas ringan lagi ya, Pak. ❤ .

Terima Kasih Untuk Jejakmu, Temans :)

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.