Ke Bogor daerah Pajajaran, tapi memilih menu makan siang selain nasi, malah milih Mie Gacoan? Nggak salah tuh, Mak?
Mana cabangnya banyak, bukan makanan auntentik Bogor. Sayang tuh perjalanan naik motor yang lumayan bikin pegel pinggang š³ .

Begitulah hidup, terkadang soal makan siang di daerah yang memiliki beragam makanan dan camilan khas, justru dihadapkan pada pilihan makanan yang sudah pernah dicicipi, bukan yang membuat penasaran lidah. Sudah bisa bersantap siang, Alhamdulillah banget.
Sebenarnya, lebih kepada situasi dan kondisi, yang harus memilih rasa yang pasti cocok di lidah dan ramah kantong *ini yang paling penting*, hahaha.
Ketambahan, perjalanan ke jalan Pajajaran Bogor bukan dalam rangka berwisata atau wisata kuliner, tapi seperti perjalanan ‘membuka jejak duka’ yang harus diterima, demi melanjutkan hidup yang masih diberi Sang Kuasa.
Jalannya juga bareng Nak Bujang yang Gen Z, maka menu makan siang dengan menyantap Mie Gacoan merupakan pilihan realistis.
Mie Gacoan Pajajaran Bogor Lokasi Strategis
Saya ada keperluan ke jalan Pajajaran Bogor pada hari Kamis, 23 Oktober 2025 lalu. Saat itu, cuaca sekitar Kotamadya Bogor dan Kabupaten Bogor sedang mendung, siang hingga sore sering hujan.
Perjalanan dari rumah sekitar pukul 10, nyampe di tempat yang dituju sekitar pukul 11.30-an, lancar. Urusan keperluannya juga cepat selesai.
Nak Bujang belum sarapan, dia akan ‘meng-qodho‘ dengan makan siang sekalian, tapi nggak mau menu nasi.
Awalnya mau makan siomay khas Bogor, tapi saat browsing, lokasinya lumayan jauh dari titik tempat kami berada.
Sementara cuaca yang awalnya cerah mulai agak sedikit berawan, kuatir keburu hujan, sementara perjalanan balik masih jauh *adakah yang baik hati dan berkelebihan rezeki mau ngasih mobil gratis ? Ngarep* š .
Ketika terus browsing mencari tempat makanan di lokasi terdekat, Nak Bujang menemukan lokasi Mie Gacoan yang hanya 6 menit jalan kaki. Dia antusias.
Nak Bujang maunya makan siangnya di sekitar lokasi kami saat itu, motor tetap di parkiran gedung situ, mau ngelemesin tanggannya yang masih pegel.
Saya sempat protes ketika dia mengusulkan makan di Mie Gacoan, “Masa jauh-jauh ke kota Bogor, makan siangnya Mie Gacoan? Salah satu cabangnya gak begitu jauh dari tempat tinggal. Kalo pulang nyekar dari makam almarhum Papa, kadang singgah untuk ngisi perut atau take away. Nggak merasa sayang untuk nyoba menu pilihan lain?”
Karena syaratnya harus jalan kaki ke lokasi tempat makan, bukan menu nasi pula, akhirnya kami keluar dari gedung, jalan kaki ke arah titik lokasi Mie Gacoan.
Kalau ketemu tempat makan selain nasi yang menarik sebelum sampai lokasi Mie Gacoan, kita bakalan berhenti.

Saya melihat ada penjual lontong sayur Padang di seberang jalan, tapi Nak Bujang menggeleng.
Sempat juga dilewati gerobak Mamang penjual siomay dan batagor, tapi dia belum mangkal.
Kami ragu untuk menyetop si Mamang siomay, sebab terakhir ke kota Bogor beberapa bulan sebelumnya, sempat nyobain menu siomay dan batagor di sekitar alun-alun dekat stasiun Bogor, rasanya jauh dari ekspektasi.
Kita lanjut jalan kaki sembari mengomentari trotoar sekitar jalan Pajajaran Bogor yang bergelombang, kurang nyaman untuk pejalan kaki yang bukan usia muda.
Saya jadi mengenang masa ngebolang sewaktu usia muda, “Dulu trotoarnya rapi. Sekarang kalau lewat naik kendaraan, dalam pikiran pastinya bakal nyaman jalan kaki di sepanjang jalan Pajajaran ini. Tapi, begitu dilakoni, jalan di trotoarnya kudu hati-hati agar gak tersandung. Trotoar jalan pun tergerus oleh waktu ya.”
Nak Bujang sepakat sembari matanya memperhatikan sekeliling, kalau-kalau ada tempat makan yang membuat penasaran lidah.
Tanpa terasa, waktu 6 menit jalan kaki terlalui, kami akhirnya sampai di lokasi Mie Gacoan.
Penampakan fasad bangunannya mirip dengan cabang Mie Gacoan lainnya, termasuk area parkir yang lumayan luas.
Ketika melangkahkan kaki memasuki area parkir Mie Gacoan, ada beberapa titik yang konbloknya rusak, terdapat sedikit genangan air. Pengunjung yang menggunakan high heels lumayan harus hati-hati.
Kondisi lainnya lebih kurang sama dengan standar Mie Gacoan yang saya lihat di cabang dekat rumah. Tidak ada lagi musik kekinian yang lamat-lamat terdengar, tapi yang terdengar suara kesibukan kendaraan yang lalu lalang di jalan, sebab lokasi Mie Gacoan rata-rata di pinggir jalan yang ramai.

Pengunjung yang ramai waktu makan siang, tapi ngantrinya standar, nampak santai dan menikmati momen makan mereka.
Mari kita juga makan siang dengan menu mie di Gacoan ⤠.
Menuntaskan Penasaran dengan Es Gobak Sodor Mie Gacoan
Soal makanan, saya bukan tim yang bakal rela ngantri lama demi menuntaskan rasa penasaran pada tempat makan yang lagi viral. Makanya, sewaktu Mie Gacoan ‘heboh’, saya nggak penasaran. Setelah itu malah terlupakan.
Bahkan, saat tau ada cabang Mie Gacoan yang lokasinya termasuk dekat dengan tempat tinggal, saya belum tertarik untuk singgah *Halah, bilang aja nggak punya budget untuk jajan, Mak* .
Hingga suatu pagi, saya hanya menemukan garpu di tempat cucian piring, tapi tidak ada tanda ‘kehebohan’ lain di dapur. Jiwa detektif emak-emak saya siaga, “Semalam, para lelaki habis makan apa ini?”
Ketika saya ‘interogasi’ Nak Bujang, dia memberitahukan kalau semalam, dia bersama Bapaknya memesan Mie Gacoan secara online.
Saya menelisik lebih jauh, “Memangnya Mie Gacoan sudah pasti Halal-nya?”
Nak Bujang mengangguk dan malah promosi ke Emaknya, “Mienya enak, bisa milih level pedesnya, udang kejunya aku sukak. Mama nggak pengen nyoba?”
Setelah itu, kalau ada keperluan keluar, Nak Bujang beberapa kali membeli Mie Gacoan. Saya hanya bisa menikmati mie pedas di level 1, di atas itu, telinga saya auto mendenging, lidah nggak bisa mendeteksi rasanya *lidah emak-emak kurang nyali*, wkwkwk.
Pernah makan di tempat, tapi yang memesan tetap Nak Bujang. Saya bilang untuk minumnya, tolong pesankan es gobak sodor. Saya penasaran sama rasanya.
E alah, Nak Bujang begitu ditawarkan promo paket oleh Mba-mba yang melayani, dia malah milih paket yang minumnya lemon tea, hiks.
“Ribet amat lu, Mak. Kan tinggal pesan tambahan es gobak sodor-nya, untuk menuntaskan rasa penasaran?”
Bukan begitu Marimar, kalau untuk saya, seporsi Mie Gacoan, seporsi udang keju, plus segelas minum, itu perut sudah kenyang banget. Seringnya malah dibantu ngabisin udang kejunya sama Nak Bujang.
Nah, kemarin di cabang Pajajaran Bogor, saya wanti-wanti sama Nak Bujang untuk minumannya es gobak sodor.

Ingin menuntaskan rasa penasaran sama rasanya, apakah bisa membuat yang meminumnya merasakan adrenalin bahagia seperti saat main gobak sodor sewaktu masih kecil.
Nak Bujang penasaran sama es petak umpet. Monggo dipesan.
Dine-in Mie Gacoan, nomor mejanya ditentukan setelah kita memesan dan menyelesaikan pembayaran di kasir. Kalau perut lagi laper dan dapat meja di bagian belakang, lumayan juga nyari-nyeri nomornya. Tapi bagus juga untuk mendisiplinkan pengunjung yang suka serobot tempat kosong š .
Ketika pesanan kami sudah siap, saya bingung melihat ‘topping’ es berupa potongan buah di gelas plastik yang hampir mirip.
Nak Bujang memberitau, “Es gobak sodor, yang ada campuran susu dan sirup koko pandan. Es petak umpet yang warnanya kekuningan.”
Es gobak sodor yang saya minum saat itu isiannya ada potongan apel, pir, potongan stroberi, potongan belimbing, jeli bola, dan cincau. Rasanya mirip es buah, tapi lebih seger *efek nggak menuntaskan rasa penasaran dengan browsing mencari info .
Setelah browsing, sewaktu ‘heboh’, es gobak sodor dulunya dikenal dengan nama ‘Es Genderuwo’. Sedangkan es petak umpet dikenal dengan nama ‘Es Pocong’.
Untung namanya sudah diubah, kalau nggak, saya nggak akan sepenasaran itu dengan miuman Es Gobak Sodor Mie Gacoan, hehehe.
Jadi gimana, setelah rasa penasaran terhadap Es Gobak Sodor Mie Gacoan sudah dituntaskan, masih bakalan pesan lagi di lain kesempatan?
Masih dong! Karena rasa minumannya yang seger, pas jadi teman makan mie gacoan level 1 di lidah saya. Apalagi kalau makannya ditraktir, hahaha.

Demikianlah sekelumit catatan kuliner yang dibumbui sedikit kisah ‘drama’, hanya penghibur diri.
Simak juga cerita kulineran di Teras Sunda Klapanunggal.
Tidak semua yang melakukan perjalanan itu untuk bersenang-senang, terkadang dilakukan sambil menahan air mata dan nyeri di dada.
Hmmm, kulineran yang ada kisah ‘konyol’ yang menyertainya, layak jadi ‘konsumsi’ publik, sangat patut dicatatkan di blog. Sebab, perlahan waktu tanpa permisi akan mengambil ‘ingatan’ di kepala.
Tapi, kalau kulinerannya kurang sreg di lidah dan hati, atau merasa butuh effort lebih untuk menuliskannya, ceritanya cukup simpan di struk pembayaran saja.
Bagaimana denganmu, Temans. Level berapa dari Mie Gacoan yang jadi favoritmu?
Salam jejak catatan #Kuliner dari mata, rasa dan pikiran YSalma.
