Uji Nyali Menyusuri Green Canyon Karawang, Ketika Debit Airnya Banyak


Uji Nyali Menyusuri Green Canyon Karawang_YSalma
Foto Green Canyon Karawang ketika debit airnya sedikit. Saat airnya banyak, bagian batu yang masih hitam (tidak hijau lumut) akan tertutup air.

Menyusuri Green Canyon Karawang yang panjangnya hanya sekitar 70 meteran itu, ketika mempunyai debit air yang banyak (deras), ternyata membutuhkan energi lebih.

Bahkan, serasa uji nyali agar bisa sampai ke celah terakhirnya. Tidak ada pengunjung yang berani masuk ke cerukan curug yang pada bagian ujung itu. Cerukannya penuh oleh cipratan dari air terjunnya dan juga jeram dari pusaran air.

Tak Sengaja, Kembali Mengunjungi Green Canyon Karawang

Hal ini karena ‘akses’ menuju curug Cigenuntis yang membuat kecewa. Saya melepas rasa penasaran pertama pada Curug Ciomas & Green Canyon ini pada 7 Februari 2019 lalu. Kemudian, pada 24 Februari 2019, tanpa direncanakan, saya kembali menyambanginya.

Kali ini bersama nak bujang dan diantar oleh teman hidup.

Tujuan awal perjalanan kami sebenarnya adalah curug Cigeuntis. Curug yang juga berada di daerah Karawang dan berjarak sekitar 17 km dari curug Green Canyon.

Hanya saja, sekitar 2,7 km lagi dari curug Cigeuntis (berdasarkan Google map), kami sudah dihentikan dan diarahkan parkir oleh penduduk setempat yang menunggu di pinggir jalan, “parkir mau ke curug, semuanya di sini. Kendaraan roda empat sudah tak bisa naik”.

Setelah kendaraan berada di tempat parkir, langsung diminta uang parkir sebesar Rp, 10,000.

Saya bertanya pada teman hidup, jarak 3 km itu kalau ditempuh dengan berjalan kaki, apakah akan memakan waktu 1 jam. Teman hidup bilang gak nyampe. Paling 30 menitan.

Yes, berarti, kami bisa jalan menuju curug sembari melihat-lihat keadaan sekitar.

Saya turun dengan mengendong tas ransel berisi pakaian ganti dan perlengkapan lain. Karena memang dari rumah sudah diniatkan untuk main air di curug Cigeuntis.

Lokasi Parkiran Bayangan Curug Cigeuntis Karawang_YSalma

Kang parkir menahan langkah saya sembari mengatakan bahwa curug Cigeuntis hanya bisa dicapai dengan menggunakan roda dua (ojek pangkalan).

Jidat saya langsung mengernyit mendengarnya.
Secara kasat mata, melihat dari kendaraan yang melintasi arah jalan menuju arah curug, roda empat aja masih bisa lewat, kenapa sekarang dibilang hanya bisa dicapai dengan menggunakan ojek? Bingung.

Untuk itu, kami harus membayar 25 ribu rupiah untuk satu ojek, dengan satu penumpang. Ga mau ditawar.

Saya mulai merasa kurang nyaman.

Pengelola parkir dan akang-akang ojek itu sesungguhnya adalah ‘penyambut’ semua pengunjung yang datang. Sikap yang mereka tunjukkan adalah gambaran pertama yang dilihat oleh pengunjung.

Area parkirnya sih bagus. Berada dipinggir aliran sungai jernih yang banyak batu-batu besarnya. Tampaknya banyak juga warga yang mandi-mandi di kali berbatu tersebut.

Juga ada beberapa bus yang sudah parkir di situ.

Saya bertanya dan minta penjelasan lebih detail tentang medan menuju curug. Kalau jalannya bisa dilewati ojek, berarti sangat bisa ditempuh dengan berjalan kaki dong.

Jawaban yang didengar hanya dengungan. Kalimat yang terdengar jelas hanya kalimat harus naik ojek.

Saya ingin tahu tentang penumpang bus yang parkir itu. Saya tidak yakin, semua penumpang bus tersebut akan menggunakan ojek menuju curug. Bakal lebih gede bayar ojeknya, dibandingkan biaya masuk curugnya 😛 .

Mereka seperti agak keberatan memberi penjelasan. Mereka hanya mengatakan bahwa penumpang bus itu sedang mengadakan camping di area curug terdekat.

Ketika saya tetap bertanya, bagaimana peserta camping itu mencapai lokasi. Jawabannya kembali ga jelas, lebih tepatnya mengelak.

Mereka, (tiga orang) terus membuntuti dan menawarkan naik ojek.

Saya semakin males dengan situasi wisata seperti ini. Sudahlah informasi tak diberikan, setidaknya beri pengungjung waktu untuk berpikir dulu lah.

Saya kemudian mendekat ke papan petunjuk arah yang terpajang pada sebatang pohon di pinggir jalan, persisi di belokan menuju parkiran.

Mereka tetap mengikuti.

Ternyata pada plang itu menunjukkan beberapa destinasi wisata yang ada di dekat lokasi tersebut.

  • Ke arah kiri, menyeberangi kali lewat jembatan kecil, menuju ke Curug Bandung dan Batu Tumpang Adventure Camp (BATAC), berjarak lebih kurang 500 m.
  • Ke arah kanan, ada jalan menuju ke Gn. Sangka Buana, berjarak lebih kurang 7 km.
  • Lurus, menuju Curug Cigeuntis, dengan jarak lebih kurang 3 km ( menurut Google map sekitar 2,7 km).

Teman hidup mampir ke sebuah warung, maksudnya untuk bertanya pada pemilik warung.

Tiga orang yang menawarkan ojek juga mengikuti, bahkan salah satunya lebih dulu menemui teteh si pemilik warung. Mereka melakukan percakapan singkat secara pelan.

Pemilik warung langsung memasang wajah serius, seakan tak mau untuk ditanya-tanya, bahkan mungkin untuk dipesan segelas kopi 😆 .

Saya pun mengajak nak bujang jalan, mencoba menuju area berkemah terdekat yang ada pada penunjuk arah, dan curug Bandung yang berjarak hanya 500 m itu.

Sinyal ponsel sudah tidak ada untuk minta petunjuk Google map.

Ternyata, jalan cor-coran mendaki yang hanya muat untuk roda dua itu banyak cabangnya, ga ada penunjuk arah lagi, kondisi seperti ini lumayan membuat keder. Saya memilih tetap di jalan utama.

Saat memastikan arah dengan bertanya pada penduduk setempat yang kebetulan sedang berada di depan rumah, mereka menjawab seperti setengah niat, “iya, ga berapa jauh lagi”.

Ketika ditanyakan apakah arah yang saya pilih ini sudah benar. Mereka memilih pura-pura tak mendengar.

Entahlah, saya merasa lingkungan sekitar, sepertinya memang sudah mengkondisikan agar pengunjung menggunakan jasa ojek.

Jika pengunjung berjalan satu dua orang seperti kami, bakal dicuekin.

Nak bujang merasa kurang nyaman dengan situasi yang kami temui. Dia meminta saya untuk balik arah saja.

Aliran Sungai Batu Tumpang Karawang_YSalma

Saya dan nak bujang akhirnya balik, kembali ke titik dekat parkiran, menghampiri teman hidup yang sedang ngopi. Ternyata tetap ‘dijagain’ oleh tiga orang pengojek.

Teman hidup menyuruh saya dan nak bujang untuk naik ojek saja. Nak bujang juga mengajak.

Akan tetapi, karena penduduk memperlakukan pengunjung seperti itu, hanya untuk 25 ribu, tapi tidak mau memberikan penjelasan, saya tentu sangat-sangat keberatan. Gak ikhlas (baca: keras kepala saya kumat) :mrgreen:

Saya akhirnya mengajak untuk balik arah saja.
Saya sengaja agak mengencangkan volume suara, “Balik dan ngadem di Green Canyon aja yuk”.

Mendengar kalimat saya itu, ketiga orang yang menawarkan jasa ojek langsung beranjak meninggalkan kami :mrgreen: .

Ketika membayar kopi yang diminum oleh teman hidup, saya bersuara pada teteh si pemilik warung, “memangnya kalau mau ke curug Cigeuntis, kendaraan roda empat harus parkir di sini, Teh? Itu mobil yang lewat, penduduk asli sini semua?”.

Si Teteh tersenyum agak gimana gitu, “sebenarnya, ada tempat parkir satu lagi di atas. Tapi tetap ga sampai curug. Harus dilanjutkan dengan jalan kaki juga”.

Perkiraan awal saya benar. Penduduk ‘memanfaatkan’ pengunjung yang belum pernah datang ke situ.

Saya tersenyum pada si Teteh, “yang namanya ke curug, pasti jalan dari tempat parkiran atuh, Teh. Curug kan lokasinya di dalam hutan biasanya. Harusnya kasih informasi yang jelas, biar pengunjung memutuskan. Kalau seperti ini caranya mengarahkan pengunjung, sama aja menutup curug untuk dikunjungi oleh pengunjung yang berasal dari luar Karawang atuh”.

Si Teteh hanya tersenyum.
Saya mengucapkan terima kasih.

Photo Booth Green Canyon Karawang_YSalma
Photo booth di Green Canyon

Ketika nyampai di tempat parkiran, ada bebera kendaraan roda empat lain yang juga ‘terjebak’ parkiran seperti kami. Mereka rata-rata keluarga dengan anak remaja cewek dan cowok seusia nak bujang.

Terdengar suara ibu-ibu mereka, “harus naik ojek lagi agar sampai ke curugnya. Kita duduk-duduk sebentar aja di bebatuan pinggir sungai ini. Setelah itu balik aja ya”.

Semua anggota keluarga mereka mengangguk tanda setuju.

Saya sedih melihat pemandangan itu. Mereka yang niat ke curug, jadi setengah perjalanan semua. Hanya gegara informasi mencapai curug seakan ‘ditutup’ oleh penduduk. Semua dilakukan agar pengunjung menggunakan ojek.

Jika pengunjungnya dua orang yang lagi kasmaran, mungkin mau-mau aja. Lha, kalau rombongan keluarga. Mikir panjang kaali.

Dalam perjalanan balik, saya ngoceh ke teman hidup dan nak bujang, gila! Sekarang hari Minggu, hari libur. Pengunjung curug ramai. Apa penduduk yang mengelola parkiran itu tidak berpikir panjang? Sudah berapa banyak tenaga ‘pemasaran’ gratis (baca: calon pengunjung) wisata curug yang tanpa sengaja sudah mereka bungkam. Kalaupun mereka menyediakan tempat parkir di situ, khususkan untuk pengunjung curug Bandung dan Batu Tumpang.

Jika pengunjung mau ke curug Cigeuntis, mbok ya diberi penjelasan yang sesuai. Parkiran ada satu lagi di atas. Jika parkir di sini, Curug sekian kilo meter lagi, bisa dicapai dengan berjalan kaki, bila sanggup. Jika tidak, bisa menggunakan jasa ojek. Bayaran satu ojek sekian, tidak bisa nego, karena medan lumayan berat. Begitu kan enak.

Apa mungkin mereka belum mengetahui cerita curug yang seperti kehilangan pesona karena sepinya pengunjung? Bisa jadi.

Atau, mungkin curugnya selalu ramai pengunjung berombongan dan menggunakan jasa satu ojek sebagai pemandu? Sehingga mereka tidak terlalu peduli dengan kenyamanan pengunjung yang hanya tiga empat lima orang ?

Oiya, sebelumnya, di tengah perjalanan, mau memasuki desa yang ada curugnya itu, kendaraan kami juga dihentikan oleh seorang pemuda.

Dia menyodorkan sebotol air mineral yang dihargai 5 ribuan (air mineral kalau di warung seharga 3 ribuan), dengan alasan untuk karang taruna.

Karena si pemuda melakukan dengan ramah, saya ikhlas membayar sebotol air mineral yang sebenarnya tidak diperlukan, karena sudah membawa persedian minum dalam botol, bukan kemasan sekali pakai :mrgreen:

Walaupun saya punya niat untuk menuntaskan rasa penasaran dengan menggunakan motor untuk melihat kondisi sebenarnya dari curug Cigeuntis Karawang. Hingga saat ini, saya masih kehilangan selera untuk melakukannya.

Padahal, suguhan pemandangan alam sepanjang perjalanan menuju desa yang ada curug itu sangat adem. Hiks.

Kondisi Air Green Canyon Karawang_YSalmaBanyak Wisata Air Alami di Karawang, Green Canyon Salah Satu Alternatif Pilihan

Saat berangkat dan balik dari curug Cigeuntis yang gagal kunjung itu, kami memang melewati Green Canyon Karawang dan Curug Ciomas. Sebab wisata air alami ini memang berada di pinggir jalan perbatasan Kabupaten Cariu Bogor dan Kabupaten Karawang.

Ketika berangkat tadi terlihat pengunjung sudah ramai. Saat balik, hari sudah sedikit mendung. Sebenarnya, nak bujang agak malas mampir karena ramai.

Alasannya, dia sudah dapat gambaran Green Canyon dari temannya dan cerita saya saat berkunjung sebelumnya.

Dia merasa, main airnya sudah kurang menarik lagi. Dikira nonton film, udah tau spoiler-nya, nonton jadi ga seru 😆 .

Setelah diyakinkan dan diingatkan niat dari rumah mau main air di tempat alami. Mumpung lewat, mending dijajal sebentar menyusuri Green Canyon-nya.

Nak bujang setuju.
Teman hidup tetap tidak berminat berbasah-basah. Lebih memilih menunggu di salah satu warung sembari ngopi 😳 .

Karena kami sudah menggunakan pakaian yang memang diniatkan untuk berbasah-basah, saya dan nak bujang langsung menuju pintu masuk utama.

Saya hanya membawa uang 50 ribu, hp, dan pembungkus plastik kedap air yang bisa dikalungkan di leher. Bawaan lain tetap dalam kendaraan.

Membayar tiket masuk sebesar 20 ribu untuk 2 orang. Menyewa rompi pelampung 2 buah, masing-masing seharga 15 ribu. Uang yang saya bawa pas.

Karena kami masih menggunakan sandal, Mamang penyewa pelampung mengingatkan untuk melepasnya. Saya pun menitipkan sandal kami pada si Mamang.

Kami memasang rompi pelampung.

Berendam di Green Canyon Karawang_YSalma

Dari tempat kami berdiri, terlihat pengunjung sangat ramai. Mulai dari orang tua, dan anak-anak ada di area curug Ciomas yang berada di bawah. Debit airnya sedang banyak-banyaknya.

Batu-batu sungai yang saya lihat waktu kunjungan pertama, saat ini hampir separuhnya tertutup oleh air.

Terlihat rona bahagia pada wajah-wajah semua umur yang sedang berbasah-basah itu.

Berenang Uji Nyali Menyusuri Green Canyon

Saya melangkah mengajak nak bujang menuju lokasi Green Canyon. Di sini, didominasi oleh pengunjung remaja-remaji dan dewasa (hanya beberapa).

Aliran air Green Canyon terlihat ada arusnya, tidak tenang seperti ketika saya berkunjung sebelumnya.

Ketika mau masuk air, saya mau memasukkan ponsel ke dalam kantong plastik hp yang dibawa.

Saya baru tersadar, bahwa kantong hp itu sangat-sangat pas ukurannya. Sehingga, tak ada lagi ruang yang tersisa. Mana saya lupa melepas casing hp.

Melihat hal itu, nak bujang mengusulkan untuk membeli kantong hp tahan air yang baru. Saya merasa sayang *emak-emak perhitungannya kenceng*, ditambah lagi saya malas balik ke parkiran untuk ngambil uang 😛 .

Sepertinya kekedapan kantong ponsel okeh.

Untuk berjaga-jaga, menghindari hal yang tak diinginkan (kantong hp bocor), saya meminta nak bujang yang memegangnya. Karena, dia lebih paham teori berenang daripada emaknya. Megang hp dengan satu tangan dan diacungkan di atas permukaan air.

Nak bujang langsung berbisik, “aku kalau berenang, harus menggerakkan kedua tangan dalam air, Mam. Ga bisa satu tangan dipakai buat megang hp di atas air”.

Emak lupa kalau anaknya terbiasa berenang di kolam yang tenang, bukan sungai berarus. Emak tetap yakin anaknya bisa, sembari mengalungkan tali kantong ponsel ke leher anaknya itu.

Kami mulai masuk ke dalam air.

Foto Green Canyon Karawang_YSalma
Foto diambil dari atas batu, nampak pondok warung di bawah, di pinggir curug Ciomas.

Air yang menyentuh kulit saya itu terasa standar. Tidak terlalu dingin. Berarti, saya lumayan aman untuk lama dalam air.

Karena pengunjung ramai ngeriung, berendam di area batas Green Canyon dan curug Ciomas ini, kami berencana untuk berenang maju hingga ujung Green Canyon.

Kami mulai bergerak menyusuri aliran air Green Canyon.
Saya duluan.

Ternyata, rencana dan perhitungan secara teori mata, tak bisa diterapkan dalam menyusuri aliran Green Canyon secara lurus. Apalagi dalam kondisi debit air yang sedang banyak-banyaknya ini.

Saya merasakan arus sangat kuat. Baru beranjak beberapa meter, bahu saya sudah terasa pegal.

Saya berbelok ke arah batu terdekat untuk berhenti, berpegagangan pada pinggir batu.

Ternyata, nak bujang juga tak kalah kagetnya. Tangannya udah ga bisa menahan ponsel di atas permukaan air. Setelah dia pastikan kalau kantong ponsel ga bocor, dia membiarkan ponsel tergantung di leher. Tangannya bebas bergerak.

Karena dinding batu pertama ini sudah penuh oleh remaja-remaji yang sedang istirahat dan berfoto-foto, saya berenang zig-zag menuju dinding batu selanjutnya.

Di sini, lumayan ada batu landai yang bisa digunakan sebagai pijakan. Kalau saya yang berdiri, tetap kepalanya kelelap, tapi nak bujang tidak.

Karena dinding batunya lebih agak ke dalam, airnya lumayan tenang. Sehingga walau pun tidak berpegangan pada dinding batu, diam dengan pelampung di daerah sini, tidak akan terlalu terseret oleh arus ke titik awal.

Naik/Manjat Dinding Batu Green Canyon

Ada dua remaja yang naik ke atas batu di titik persinggahan kedu ini.
Saya mengajak nak bujang untuk naik ke atas batu juga.

Uji Nyali Menyusuri Green Canyon_YSalma

Saya kasih tahu cara menaiki salah satu dinding batu di Green Canyon itu pada nak bujang. Dinding batu itu lumayan banyak bagian aman untuk dijadikan pijakan dan pegangan.

Nak bujang menaroh tangannya di tempat yang saya kasih tahu untuk pegangan dan posisi buat pijakan.

Kepala nak bujang menggeleng. Dia ga yakin bisa naik sembari berbisik, “malu-maluin ntar kalau kebalik dan jatuh berdebam ke dalam air, Mam”.

Mendengar itu, saya baru ingat, bahwa anaknya bukan dibesarkan di lingkungan sungai berarus dan berbatu seperti emaknya.

Kalaupun pulang kampung, hanya main air dan berenang biasa, tidak yang manjat-manjat tebing batu.

Padahal, tebing batu pada air terjun di kampung emak, sangat lebar, dan ada bagian landai yang sering dinaiki oleh anak-anak.

Karena air sungai di air terjun yang ada di kampung halaman emak sangat dingin. Setelah merasa menua, emak tidak pernah bisa tahan lama-lama berada dalam air. Sehingga, emak tak punya kesempatan buat mengajarkan anaknya untuk mengetahui keseruan memanjat tebing bebatuan sungai yang sesungguhnya. Kemudian, merosot turun, atau melompat.

Merosot, ataupun melompat itu merupakan salah satu keseruan berpetualang curug, yang mempunyai dinding bebatuan. Tentunya dengan melihat kondisi masing-masing curug.

Gagal Mengabadikan Keindahan Curug Tersembunyi di Green Canyon

Setelah meminta ponsel dari nak bujang, saya naik ke atas batu.

Dari sini, saya berniat mengambil beberapa foto.

Phiuf! Saya baru ngeh kalau saya salah memasukkan ponsel ke kantongnya. Harusnya, bagian kamera pada posisi belakangan masuk. Sekarang sudah susah membalik posisi hp. Tangan saya sudah penuh oleh tetesan air.

Akibat salah memasukkan ponsel ke kantong kedap air. Sebagian foto tertutup oleh plastik berwarna kantongnya, yang tidak semunya bening.

Saya kesusahan menekan tombol mengaktifkan ponsel yang berada dalam posisi standby, karena tombolnya tertutup oleh lipatan-lipatan penutup kantong plastik kedap air itu.

Karena kantong ponselnya terlalu pas, ponsel juga tidak cepat dalam kondisi standby jika tidak digunakan. Akibatnya, batere semakin cepat menipis 😥 .

Setelah mengambil satu video singkat dan beberapa foto, saya mengembalikan ponsel pada nak bujang dengan mengulurkannya. Saya meminta dia untuk memoto dari bawah.

Nak bujang baru sadar emaknya salah menaroh posisi ponsel. Dia sempat menggerutu karena kesulitan mengaktifkan ponsel :mrgreen: .

Saya lompat dari atas batu, dari titik terendah tentunya, karena ingat umur. Itu aja sudah dilihatin ‘aneh’ oleh remaja-remaji yang ada.

Ternyata, yang lagi pada berendam itu, umumnya remaja seperti nak bujang, ‘anak kota’ yang main ke curug 😆 .

Setelah itu, kami bergerak zig zag ke dinding batu berikutnya.

Saya menyuruh nak bujang duluan dan mengambil fotonya, Latarnya terlihat sedikit curug indah yang tersembunyi di cerukan bebatuan Green Canyon.

Baterai ponsel sudah sangat kritis 😥 .

Curug Tersembunyi di Balik Bebatuan Green Canyon Karawang_YSalma
Foto ala kadarnya, curug yang tersembunyi di Green Canyon Karawang.

Saya dan nak bujang terus berenang zig zag dari dinding batu satu ke berikutnya, hingga sampai di mulut dinding terakhir yang ada cerukan air terjunnya.

Hanya saya yang sampai ke dinding yang seperti menjadi pintu untuk curug Green Canyon itu. Itupun hanya di dinding sisi kiri kita datang dan hanya sebentar, karena arus airnya sangat deras. Nak bujang berhenti gak jauh dari situ.

Kondisi cerukan tidak begitu terlihat secara keseluruhan, karena tertutup oleh percikan balik air terjun dan putaran arus.

Ketika saya mencoba berenang pindah ke dinding sisi kanan, agar bisa melongok secara jelas, tetap ga berhasil memegang pinggiran batunya, karena terbawa lagi oleh arus.

Saya agak keder juga kalau malah keseret ke dalam putaran cerukan sendirian. Mana belum tahu juga kedalaman curug dan luas cerukannya.

Saya hanya berani uji nyali menyusuri Green Canyon Karawang sampai sisi situ.

Ada seorang anak muda yang mencoba juga, setelah melihat saya yang emak-emak sedang berusaha. Si anak muda berusaha dari sisi di seberang saya.

Saya merasa capek melawan arus, dan ingin diam mengambang dengan parasut.

Saya memberitahu agar si anak muda mencoba dari sisi saya mencoba tadi, tidak terlalu melawan air.

Karena ponsel sudah tidak memungkinkan lagi buat foto-foto, nak bujang mengajak untuk di taroh dulu aja.

Kami pun berenang nyantai mengikuti aliran arus menuju titik awal. Sesekali harus menggerakkan badan juga agar tak terbawa ke lekukan dinding bebatuan Green Canyon.

Sepertinya, si anak muda yang mencoba memegang dinding batu terakhir, juga ngikut balik ke arah titik awal di belakang kami. Keder juga dia sendirian di sana.

Begitu melihat kami nongol, ada beberapa remaja-remaji yang sepertinya baru datang, merasa tercerahkan semangatnya untuk menyusuri Green Canyon lebih jauh 😆 .

Saya dan nak bujang memutuskan untuk ke parkiran. Saya mengajak nak bujang lewat melalui sisi curug pada bagian yang berada di wilayah kabupaten Cariu, melewati jembatan bambu, kemudian turun ke area curug Ciomas. Menyebrangi aliran airnya.

Nak bujang main air sebentar. Ponsel masih bisa dipergunakan untuk memoto batu yang saya susun 😆 .

Kami menyeberangi sungai, naik dari area curug di sisi kabupaten Karawang, menuju parkiran. Kemudian memberikan ponsel pada teman hidup.

Setelahnya, kami kembali ke aliran air Green Canyon.

Batu Favorit Untuk Melihat Keindahan Green Canyon Karawang Secara Menyeluruh

Kami kembali menyusuri curug secara zig zag. Karena batu pemberhentian pertama yang berada di sebelah kiri kosong (sebelumnya, penuh oleh beberapa remaja). Saya pun berhenti di situ.

Akhirnya, saya tahu kenapa batu satu itu seperti tidak pernah kosong.

Nyantai di Bebatuan Green Canyon Karawang_YSalma

Ternyata, ada bagian yang sangat landai untuk naik dengan mudah. Nak bujang pun naik ke batu. Turunnya pun tak harus lompat. Sangat beda dengan dinding batu yang sebelumnya saya naiki.

Dari batu ini, curug tersembunyi di ujung dalam Green Canyon pun terlihat jelas.

Hiks. Baterai ponsel ku sudah sakarat. Pantesan tadi mereka pada asik pepotoan di tempat ini dengan berbagai gaya. Sepertinya belum rejeki kami punya pepotoan agak lumayan.

Setelah puas mengamati curug tersembunyi itu. Kami pun turun dari batu, dan berenang menyusuri aliran Green Canyon lagi.

Melihat kami bergerak, ada beberapa remaja yang ngikut. Itupun mereka hanya separoh jalan.

Arus sungai ternyata tak semudah yang terlihat untuk bisa ditaklukkan.

Main Air Itu Membuat Lapar

Setelah menyelesaikan satu penelusuran lagi, hingga titik terjauh yang bisa dicapai. Nak bujang bilang lapar.

Wah! Ketika mengantar ponsel ke parkiran, saya lupa mengambil uang 😛

Kami ke parkiran lagi. Saya meminta uang pada teman hidup. Mengambil kantong plastik tempat membawa ponsel sebelumnya. Sekarang kantong tersebut digunakan untuk menyimpan uang, agar nantinya tidak basah :mrgreen: .

Nak bujang maunya pesan mie goreng telor.
Saya juga melihat ada penjual rujak bebeg di area bebatuan curug Ciomas yang kering.

Kami turun ke area Curug Ciomas.

Setelah memesan seporsi rujak bebeg (harganya 5 ribuan), kami memilih menuju warung yang ada persis di pinggir curug Ciomas, yang berada di sisi wiliyah bagian kabupaten Cariu Bogor. Memesan mi goreng telur dan teh.

Sambil menunggu mi jadi, saya memakan rujak bebeg. Nak bujang ga berminat.

Kami memilih duduk di sisa-sisa semen curug, sembari memperhatikan keramaian main air di area curug Ciomas.

Porsi rujaknya terlalu sedikit untuk ukuran saya yang penggemar rujak. Apalagi jika rasanya boleh. Saya memesan seporsi lagi. Nak bujang hanya nyicipin sedikit :mrgreen: .

Alhamdulillah, nak bujang kenyang.

Ngapung Mengikuti Jeram Air Gurug

Nak bujang mengajak saya untuk mencoba berenang di cerukan curug Ciomas. Rata-rata pengunjung hanya berenang dipinggiran curug. Hanya satu dua yang mendekat ke tempat air curug jatuh.

Jika ada yang melompat di seputaran curug, itu artinya air curug aman untuk didekati.

Saya mengajak nak bujang untuk sekali lagi menyusuri aliran Green Canyon, setelah itu, baru main air di area curug Ciomas.

Nak Bujang setuju.
Kami kembali melewati jembatan bambu, dan uji nyali sekali lagi menyusuri aliran Green Canyon.

Nak bujang merasa ujung-ujung jarinya kram. Saya pun mulai merasakan hal yang sama. Jari mulai lelah diajak melawan arus :mrgreen: .

Setelah menekuk jari-jari kaki. Kami kemudian beranjak turun ke area curug Ciomas yang ramai oleh anak-anak dan ibu-ibu.

Sebelumnya, saya melihat ada mas-mas yang mencoba memanjat dinding bebatuan curug Ciomas, di area seberang, kemudian melompat ke aliran curug. Seru.

Saya hanya ingin memberi pengalaman pada nak bujang mengikuti jeram aliran air curug, mumpung masih menggunakan pelampung.

Foto Perbandingan Debit Air Ciomas Ujung Curug Green Canyon_YSalma
Jeram curug Ciomas lumayan juga kan.

Ternyata, untuk mendekati aliran curug dari sisi kami berada, lumayan susah dan memakan tenaga. Nak bujang ga bisa mendekat ke tempat saya berada. Sehingga dia tidak bisa mengikuti saya melewati jeram curug Ciomas.

Saya pun mengajak nak bujang berpindah ke sisi satunya, karena mas-mas tadi sudah naik ke area Green Canyon.

Hore, nak bujang berhasil. Kepala kami bisa merasakan jatuhan air curug Ciomas, kemudian mengapungkan badan dengan pelampung mengikuti aliran jeram. Nak bujang menemukan keseruan baru mengikuti jeram curug.

Rata-rata pengunjung yang hanya niat berbasah-basah di area curug Ciomas pada tidak menyewa pelampung. Sehingga, mereka tidak bisa berenang seseruan ke bagian yang agak dalam dan berarus.

Jika debit air curug Ciomas seperti saat saya berkunjung ini, orangtua yang membawa anaknya main air harus tetap mengawasi anak-anak, jangan sampai lengah.

Sebab, bagian air yang terlihat berwarna hijau di seputaran curug, itu bukan aliran air yang tenang, tapi arusnya lumayan.

Setelah merasa cukup dan puas bermain air, kami pun keluar dari air. Mengembalikan rompi pelampung dan mengambil sandal.

Fasilitas, Ruang Ganti & Mushala

Kami kembali ke parkiran, mengambil keperluan buat ganti pakaian.

Ruang bilas dan ganti juga ada di sisi curug Ciomas yang berada di wilayah Karawang. Di sisi kanan pintu masuk utama, di belakang pos penjualan tiket. Di bawah Mushola.

Saya menyerahkan kantong yang berisi keperluan nak bujang. Ia memilih ruang bilas dan ganti yang dekat toilet.
Saya memilih yang dekat tembok.

Nak bujang selesai duluan dan menunggu saya di luar.

Di area ini juga ada rak-rak tempat penitipan tas.

Karena kami hanya bilas dan ganti pakaian, masing-masing dikenakan 2 ribu rupiah.

Nak bujang saya minta menaroh kantong berisi pakaian basah. Saya menuju ke Mushola untuk menunaikan sholat dzuhur.

Ternyata, hari sudah pukul dua-an. Gak terasa, ada sekitar 3,5 jam kami main air di Green Canyon dan curug Ciomas.

Setelah saya, masih ada beberapa ibu-ibu yang juga menunaikan kewajibannya.

Jeram Air Curug Ciomas Green Canyon_YSalma

Selama menunggu kami main air dan uji nyali menyusuri aliran air Green Canyon, teman hidup sudah makan sate dan mie ayam.

Nak bujang pun tergoda mencobanya.
Dia gak sanggup menghabiskan mie ayamnya. Sebab, mie ayamnya dikasih campuran sawi putih, bukan sawi hijau (caisim) seperti umumnya. Berasa aneh di lidah nak bujang. Akhirnya, emak lah yang jadi tim pembersihnya 😆 .

Sembari makan mie ayam ini, teman hidup menanyakan pengalaman kami main di curug. Nak bujang menjawab, “seru”.

Di dekat kami duduk, ada juga keluarga yang sedang makan mie ayam. Awalnya saya pikir mereka sudah selesai main air.

Begitu mendengar jawaban nak bujang. Si ibu mulai mengajak anak lanangnya yang juga sepantaran nak bujang untuk main air.

Anaknya menolak, tetap memainkan gadget ditangannya. Ibunya berusaha membujuk dengan memberikan pengertian, main air di alam itu beda sensasinya jika dibandingkan dengan kolam renang ataupun water boom. Apalagi jika dibandingkan dengan main ke mal.

Ayah dan om si anak juga ikut bersuara, mumpung sudah nyampai lokasi curug yang ada di pinggir jalan, tinggal nyebrang. Anaknya tetap menolak, tidak mau.

Ternyata, anak-anak digital sekarang, jika tidak dibiasakan dari kecil bersentuhan dengan alam. Mereka akan merasa asing dengan kegiatan alam.

Sayang banget kan, tinggal di Indonesia yang sebagian wilayahnya adalah laut, gunung, dan alam pedesaan. Tetapi, anak yang kondisinya sehat, tidak merasa tersentuh untuk bisa menikmati semua itu.

Kesimpulan

Main air ke curug. Persiapkan semua perlengkapan yang diperlukan dengan sebaik mungkin. Jangan hanya asal ada aja. Contohnya, kantong pelindung ponsel.

Mau masuk kolam renang, main air di aliran sungai, lakukan peregangan otot terlebih dahulu, sebentar aja. Jangan main asal nyebur, bisa kram.

Mentang-mentang jago berenang, jika sudah berurusan dengan arus sungai, dan ada penyewaan pelampung, sebaiknya gunakan. Selain untuk keamanan, juga untuk memuaskan mengeksplorasi selama main di aliran air.

Cari tahu informasi tentang kondisi curug. Setidaknya, amati dulu situasi yang ada, sebelum memutuskan mendekat pada jeram curug, atau melompat dari tebing bebatuannya.

10 comments

  1. wah seru banget sepertinya ya kak bisa menyusuri green canyon saat air nya banyak getu, tapi saya takut kalau terbawa arus sungai hhhh 😀

    Suka

  2. Wah …
    menyimak ini jadi pingin juga menengok ke sana …
    Di Karawang lho ini … harusnya bisa ditempuh sehari bolak balik dari Tangerang Selatan nih

    salam saya

    Disukai oleh 1 orang

  3. pemaksaan banget itu akang2 ojek ya…
    penduduk juga sama aja, ya mungkin kang ojek itu keluarga mereka.
    betul2 buat orang malas datang ke sana

    Disukai oleh 1 orang

  4. […] menantang dari curug ini adalah menyusuri aliran Green Canyon mini-nya […]

    Suka

Terima Kasih Untuk Jejakmu, Temans :)

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.