Budaya Ngaret-Menunggu itu Menjengkelkan


Budaya Ngaret-Menunggu itu Menjengkelkan semua orang yang mengalaminya. Tak terkecuali anak-anak. Walaupun mereka selalu ceria, apalagi sudah berkumpul dengan teman-teman sebaya. Banyak tingkah dan ocehan mereka yang saling sahut, membuat geerrr yang lainnya.

Tetapi begitu toleransi menunggu sudah lebih dari yang mereka perkirakan, anak-anak itu tetap aja jengkel. Apalagi orang dewasa yang mereka ‘hormati’ belum juga menampakkan batang hidungnya, mereka resah.

Anak-anak tersebut adalah generasi penerus. Mereka masih ibarat kertas putih, siap ditulis atau dilukis dengan warna apa saja. Mereka masih jujur, menyerap informasi dari lingkungan sekitar begitu cepat. Sekali dua kali melihat dan mengalami situasi yang diluar perkiraan mereka, seperti budaya ngaret, awalnya mereka agak kaget. Ketiga kali mereka akan ikut ‘menyesuaikan’ diri dengan budaya ngaret itu, biar mereka terhindar dari menunggu terlalu lama yang membuat jengkel itu. Selanjutnya mereka akan mencontoh dan menjadi bagian dari budaya tersebut #budaya ngaret.

Menunggu giliran: Wajib antri.
Menunggu giliran: Wajib antri.

Semua cerita tentang teori disiplin dan tepat waktu yang selalu diocehkan orang dewasa, bubar jalan oleh contoh nyata sehari-hari yang mereka temui 😥 .

Seperti kejadian hari ini. Minggu pagi, sekitar pukul 05.30 WIB, junior sudah selesai mandi, sarapan dan sudah berpakaian lengkap. Hari ini dia semangat, secara mau ujian kenaikan sabuk karate dari hijau ke biru. Jauh-jauh hari sudah diumumkan berangkat pukul 06.00 WIB, bareng-bareng sama pelatih dan teman yang lain.

Pukul 05.45 WIB emak ngajak jalan, dia bilang entar dulu aja dengan alasan,”Jam dinding dirumah kan mama cepetin. Ntar nyampai sana, baru jam segini. Orang-orang pada belum datang, males“.

Emak sengaja mempercepat jam dinding sekitar 10 menit, biar dia ga lelet kalau pagi-pagi mau berangkat sekolah. Emaknya menjunjung tinggi prinsip ‘tepat waktu’, tak suka dengan budaya ngaret. Lebih baik menunggu daripada ditunggu, kecuali ada hal lain diluar perkiraan.

Sekali, dua kali, tiga kali, junior kaget dan buru-buru. Perkiraan dia sudah bakal telat, nyampai di tempat latihan, termasuk yang datang duluan juga. Akhirnya junior tau juga kalau jam dinding dirumahnya lebih cepat, dan teman-teman yang lain juga ga semuanya tepat waktu :mrgreen: . Ikut menyesuaikan dirilah dia alias mencontoh kebiasaan yang berlaku di lingkungan.

Sampai ditempat yang ditentukan untuk ngumpul, kurang dari pukul enam. Ternyata teman-teman yang lain sudah banyak yang ngumpul. Mereka bercanda dan tertawa bareng. 30 menit kemudian. Mulai ada celutukan,”aku udah datang dari masih gelap, sekarang udah terang bagini, kok belum berangkat“. Yang satunya ikut nyelutuk,”iya, aku dari rumah jam 5 lewat, sekarang udah jam berapa nih, tau begini mending tidur dulu aja“. Yang lain mulai ikut resah,”mungkin minggu depan kali, kita pada pulang aja yuk, mana pelatihnya belum datang“. Wajah-wajah polos itu mulai kelihatan bosan, dan jenuh. Menunggu akibat budaya ngaret ini mulai terasa menjengkelkan.

Tetapi 15 menit kemudian, tepatnya 45 menit dari waktu yang sudah disepakati. Begitu melihat pelatih dan rombongan lain muncul dengan kendraan yang akan mengantar mereka, wajah-wajah gelisah itu kembali berseri dan semangat.

Begitulah anak-anak, mereka begitu cepat menyerap dan ‘memaafkan’. Mereka begitu cepat melupakan rasa bosan menunggu yang menyebabkan kejengkelan itu. Janganlah kita, orang dewasa, menjejali jiwa polos anak-anak itu dengan contoh budaya ngaret dan tak disiplin.

 

22 comments

  1. Kasihan ya mbak itu anak anak yang datang dari mulai gelap. Terkadang memang kalau sudah menjadi kebiasaan bikin yang lain nggak bisa berkutik ya mbak, seperti budaya ngaret ini, kalau banyak yang melakukannya, lama kelamaan ya yang lain pada ikut termasuk anak kecil 😦

    Suka

  2. Orangtua yang telat itu apa ada minta maaf karena uda buat anak-anak nunggu, Mbak? Atau bersikap biasa aja dan cenderung acuh?

    Miris ya.. 😦
    Ngasih contoh lewat tindakan jauh lebih baik daripada contoh lewat ucapan..

    Suka

  3. Budaya ngaret itu suka-suka minta rasa sabar yang tinggi. Kalau saja sabar saya juga bisa seperti karet, dipanjang-panjangkan sih gak masalah 🙂

    Suka

  4. INilah, orang dewasa harusnya kasih contoh yang baik ya untuk anak-anak. Sama tuh kayak Vay waktu GR untuk drumband bulan lalu. Disuruh kumpul di lokasi jam 10 tepat. Saya sudah di sana dari 09.30, dan ternyata Miss-missnya baru muncul jam 10.30, karena memang giliran sekolah mereka itu jam 12. Kelewatan deh. Anak-anak disuruh nunggu dari pagi, dan mereka enak-enakan lelet.

    Suka

    • Iya Zi, contoh yang bakal ditiru dan dianggap biasa kebiasaan seperti itu sama anak-anak,
      mana anak-anak kalau pada situasi dan urusan belajar, mereka lebih percaya gurunya daripada orangtuanya, duh.

      Suka

  5. tulisannya hmm.. ringan but sangat kritis, emang kebanyakan kita orang dewasa sering memberi contoh yang kurang baik, seperti contoh telat waktu itu. sepertinya sepele, tapoi bisa mempengaruhi masa depan bangsa 🙂

    Suka

    • kita tulis yang ringan-ringan aja *hidup itu sendiri udah terlalu berat
      padahal bisanya memang nulis yang ringan 😀
      iya dong, anak-anak itu kan meniru yang mereka lihat 😦

      Suka

  6. orang dewasa adalah contoh buat anak-anak.
    sekarang, anak-anak bisa mentolelir, cuma kalau udah dewasa, bisa lain lagi kejadiannya

    Suka

  7. Ah jadi inget jaman sekolah SD dulu, nyokap gw juga majuin jam tapi anak2 nya dah paham jadi pada wolesss meskipun dah di teriakin bakal telat.
    Tapi alhamdulillah gw termasuk orang yg selalu on time, dan suka murka ama temen2 yg lelet aka telat 🙂

    Suka

  8. […] pertama terjadi saat bocah-bocah ini sedang menunggu, menyiasati budaya ngaret orang dewasa dan […]

    Suka

  9. Nah ini . . kalau yang jadi panutan juga memberikan contoh ngaret, ya gak heran kalau budaya jam karet akan susah hilangnya 😦

    Suka

Terima Kasih Untuk Jejakmu, Temans :)

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.