Oh, Kerasnya Kehidupan


Saya percaya kalau teman-teman di blogosphere ini sudah sering membaca kisah berikut ini, tetapi bolehlah untuk dibaca-baca lagi, mudahan aja bisa meringankan sesak di dada atau malah bisa mengulaskan sedikit senyum di wajah yang tegang karena begitu stres dengan oh, kerasnya kehidupan yang harus dijalani.

Padahal menurut mereka yang bijak, kehidupan adalah kemampuan kita melewati semua halangan ataupun kesuksesan dalam proses di dunia fana ini. Semuanya sangat dipengaruhi oleh cara pandang kita terhadapnya.

Kebahagiaan itu bukan dicari jauh-jauh, tapi bahagia itu berserakan di dekat kita, di sekitar kehidupan sehari-hari.

kerasnya kehidupan

Cerita atau kisah dalam artikel ini sering bersileran di sebuah grup email.

Alkisah, di sebuah padepokan “Kehidupan” seorang murid yang biasanya selalu optimis dan sangat tekun berlatih mulai pesimis dan malas-malasan.

Sang Guru mencari tahu apa gerangan yang melanda murid kesayangannya ini. Rupanya si murid lagi dijangkiti penyakit kejenuhan, karena ilmu sakti untuk memudahkan kehidupan yang ingin didapatnya belum juga ia kuasai.

Pada satu hari ia mengeluh pada Sang Guru bahwa hidup ini semakin terasa berat baginya. Ia sudah tidak tahu bagaimana cara menghadapinya. Ia lelah berjuang terus dan sepertinya memilih menyerah  pada sang kehidupan yang sepertinya tak henti-henti menderanya dengan masalah.

Sang guru lalu mengajak si murid ke dapur umum di padepokannya. Ia lalu mengisi 3 panci yang ada di situ dengan air dan menaruhnya di atas tungku api.

Setelah air dipanci-panci mendidih, ia memasukkan wortel ke panci pertama, telur ke panci kedua, dan memasukkan bubuk kopi ke panci ketiga.

Ia menunggu proses pematangan bahan-bahan yang dimasukkan tanpa berkata apapun.

Si murid juga bungkam sambil menunggu dengan tidak sabar dan memikirkan apalagi yang akan dilakukan sang guru. Ia sebenarnya agak kesal, bukannya mengajarkan salah satu jurus ampuh untuk meringankan keluhannya tapi malah memasak.

Setelah 20 menit, sang guru mematikan apinya. Ia menyisihkan wortel dan menaruhnya di mangkuk, mengangkat telur dan meletakkan di mangkok satunya, kemudian menuangkan kopi ke mangkok lainnya.

Lalu ia bertanya kepada si murid, “Apa yang kau lihat?”

“Wortel, telur, dan kopi,” jawab si murid.

Sang guru mengajaknya mendekat dan memintanya merasakan wortel itu.

Si murid dengan patuh melakukannya dan merasakan bahwa wortel itu terasa lunak.  Sang Guru lalu memintanya mengambil telur dan memecahkannya. Setelah membuang kulitnya, ia mendapati sebuah telur rebus yang mengeras.

Terakhir, Sang guru memintanya untuk mencicipi kopi.

Ia tersenyum ketika mencicipi kopi dengan aromanya yang khas. Setelah itu, si murid bertanya, “Apa arti semua ini, Guru?”

Sang Guru mengajak muridnya duduk dan menerangkan, bahwa ketiganya telah menghadapi ‘kesulitan’ yang sama, melalui proses perebusan di atas tungku, tetapi masing-masing menunjukkan reaksi yang berbeda.

Wortel sebelum direbus kuat, keras, dan sukar dipatahkan. Tetapi setelah direbus, wortel menjadi lembut dan lunak.

Telur sebelumnya rapuh terhadap benturan dan mudah pecah. Cangkang tipisnya melindungi isinya yang berupa cairan. Tetapi setelah direbus, isinya menjadi keras.

Sedangkan bubuk kopi mengalami perubahan yang unik. Setelah berada di dalam rebusan air mendidih, bubuk kopi malah merubah air tersebut.

“Kamu termasuk yang mana?,” tanya Gurunya dengan tiba-tiba. “Ketika kesulitan mendatangimu, bagaimana kau menghadapinya? Apakah kamu wortel, telur, atau kopi?”

Apakah kamu adalah wortel yang kelihatannya keras, tapi dengan adanya penderitaan dan kesulitan, kamu menyerah, menjadi lunak dan kehilangan kekuatanmu?

Apakah kamu adalah telur, yang awalnya memiliki hati lembut? Dengan jiwa yang dinamis, namun setelah adanya kematian, patah hati, perceraian, atau pemecatan, maka hatimu menjadi keras dan kaku. Dari luar kelihatan sama, tetapi apakah kamu menjadi pahit dan keras dengan jiwa dan hati yang kaku?

Ataukah kamu adalah bubuk kopi? Bubuk kopi mengubah air panas mendidih, sesuatu yang menimbulkan kesakitan, untuk dapat mencapai rasanya yang maksimal. Ketika air mencapai suhu terpanas, kopi akan terasa semakin nikmat. Jika kamu seperti bubuk kopi, ketika keadaan menjadi semakin buruk, kamu akan menjadi semakin baik dan membuat keadaan di sekitarmu juga ikut membaik.

Nah yang manakah kita dalam menghadapi oh,kerasnya kehidupan???

Dituliskan di blog ini agar selalu ingat, karena sangat sering masih merasa seperti wortel dan terkadang telur. Masih belum bisa seperti kopi. Masih harus terus belajar lagi.

31 comments

  1. horeeee…pertamaxdotcom.hihihi….

    kebanyaken kita mungkin adalah telur. tapi harus berusaha seperti kopi dan wortel..
    hum…tiga2nya are my favourite. hihi

    salam blogwalking yaaaa

    Suka

  2. Berbicara mengenai kehidupan memang memerlukan suatu pendalaman dan itu merupakan bukan hal yang mudah, dan segala sesuatu dalam hidup itu adalah tidak kekal adanya kecuali perubahan itu sendiri, seperti pada ulasan diatas semuanya berubah sesuai dengan apa yang seharusnya terjadi, salam kenal mas

    Suka

  3. Lho lho, sebagai penikmat kopi, saya mau protes.
    Justru kopi akan rusak rasanya kalo diseduh dengan air yang mendidih. 😦 Jangan mendidih langsung dituangin ke kopi, tunggu sebentar sampe suhu sekitar 80 derajat celcius.

    Suka

    • masalah kopi hanya soal rasa sop 🙂
      btw bukannya teh yang akan mengurangi cita rasanya kalo di seduh sm air mendidih,,
      kalo sy dikampung, kopi tarik pake air mendidih baru mantap rasanya sop 😀

      Suka

  4. Saya tersenyum Mbak…

    mengispirasi sekali,membuat yang membaca jadi tersenyum optimist untukku yang mulai merasakan mimpi-mimpiku mulai memudar 🙂

    Makasih n salah kenal.

    Suka

Terima Kasih Untuk Jejakmu, Temans :)

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.