Bandung Kota Kenangan


Bandung salah satu kota kenangan, tentunya bagi saya pribadi. Saya punya cerita saat masih muda dulu *sekarang juga masih berasa muda 😳 *. Cerita saat ala petualangan yang boleh disebut agak nekat pada zaman itu. Kalau jaman sekarang bisa disebut backpacker, tapi ga sengaja.

Boleh dibilang kenekatan ala 2 cewek yang sok mau menghabiskan weekend di sepanjang Dago saat itu. Tanpa rencana yang matang, yang penting jalan dulu. Karena ke Bandung bukanlah sesuatu yang baru bagi kita.

Kalau sekarang, anak muda memang seharus sering jalan melihat daerah lain dan melihat kehidupan penduduk yang dikunjungi itu dari dekat 🙂 .

Bandung Tujuan Menghabiskan Weekend

Hari itu Sabtu, di rumah kontrakan di Bekasi Selatan, saya sama sohib jaman kuliah yang kebetulan main ke rumah dan ngobrol ngalor ngidul, “enaknya kita ke mana ya hari ini”. Mutar-muter Jakarta naik turun angkot, bus kota, mulai dari Jakarta Selatan sampai Jakarta Utara? Udah bosan. Dari menyusuri jalan cacing hingga jalan tikus yang diketahui, udah ga seru lagi.

Akhirnya, tercetuslah ide untuk ke Bandung.

Ke Bandung Lewat Jalur Puncak?

Tapi, kita maunya naik bus yang lewat jalur puncak, biar sekalian cuci mata dengan melihat pemandangan hijau dan bisa menyejukkan mata di sepanjang perjalanan dan bisa bikin hati wanita muda galau jadi adem.

Berdasarkan informasi yang kita dapat dari mulut ke mulut, kalau mau ke Bandung lewat puncak, naik bus harus dari terminal Kampung Rambutan.
Kita posisi ada di Bekasi.
Demi bisa melewati jalur puncak menuju Bandung hari itu, kitapun  bela-belain naik bus muter-muter ke Kampung Rambutan.
Dapatlah bus yang diinginkan.

Saat itu, berangkat tepat waktu sesuai jadwal yang sudah diberitahuka pada calon penumpang, sepertinya jenis kebiasaan langka bagi armada angkutan umum. Bus berangkat waktunya molor.

Ga apa-apalah, yang penting bus jalan.
Nyampai dijalan, celingak celinguk lah dua cewek lewat jendela, “lho-lho, ini kok rutenya aneh begini”.

Ternyata, bus yang kita tumpangi tetap aja lewat Purwakarta, bukan lewat Puncak 😦 .

Apes!

Jadilah, 2 pelancong lokal yang rada-rada ga mikir itu ngomal ngomel dengan berbisik-bisik, “kalau ceritanya gini, ngapain bela-belain ke Kampung  Rambutan?”

Saat itu, kita berdua baru tersadar, “ini kan Sabtu. Udah siang begini, mana boleh lagi bus naik lewat puncak? 😥 . Kenapa telat mikirnya sih!”

Biasanya, kalau kita main ke Bandung, pasti anggotanya lebih dari 4 orang. Semua sudah terjadwal dengan baik. Kalau nginap, di bawah pukul 9 malam, kita pastinya udah di penginapan.

Tidak semua ide untuk melakukan sesuatu, tanpa rencana yang jelas, akan menghasilkan  output seperti yang diharapkan.

Akhirnya, sampai juga di Bandung, tentunya hari sudah sore.

Walaupun begitu, kita tetap jalan sambil nyanyiin Hallo-Hallo Bandung di dalam hati. Kita bergegas menuju arah Dago dan sempat shalat magrib di Masjid Salman.

Penasaran Dengan Kehidupan Malam Bandung

Menurut gambaran kita kala itu, daerah Dago Bandung merupakan yang paling nyaman kalau dipakai buat wara wiri sampai malem oleh pelancong lokal kayak kita,  2 cewek manis, yang satunya jilbaban, yang satunya tampilannya masih terlihat setengah badung. Jadi bakal amanlah, ga ada yang berminat untuk ngusilin.

Kita berdua jalan hanya berniat mau mengintip kehidupan malam di Bandung itu sampai jam berapa.

Makanya kita tidak berniat untuk nyari penginapan. Di jalan sehabisnya malem aja.

Ntar, kita bisa terdampar nunggu pagi di Masjid, atau di Rumah Sakit terdekat, bergabung di aula penunggu pasien nginep sambil  nonton TV.

Ide  nekad dan gila kayak dua cewek, yang tak bisa bela diri di atas, jangan ditiru lho ya. Tapi bisa dijadikan pilihan kreatif, kalau suatu saat temans mau jalan-jalan dengan budged yang udah menipis, 3-4 orang, dan kalau bisa ada teman cowok. Bolehlah dicoba sekali-sekali 😉 .

Karena dua orang cewek yang pada dasarnya bukan pecinta petualang sejati, begitu lewat dari jam 9 malam, kita berdua merasa asing sendiri di tengah kesibukan malam yang baru saja dimulai itu. Yang wara wiri di jalan saat itu adalah mereka yang “memiliki malem”.

Kita berdua mulai merasa gerah sendiri, secara menggunakan kostum yang beda banget.

Kita ga mau ditatap aneh dalam rasa curiga, “dua makhluk ini, yang satu jilbaban, tapi keluyuran malem-malem. Mau nyari berita apa?” Mana yang papasan di jalan bajunya minim semua, atau yang mulai dari rambut hingga hampir semua badannya pakai aksesoris metal. Mereka sih pada cuek.

Kita mencoba tetap cuek juga.

Kita ga mengusik, jadi mereka juga ga bakal mengusik.

Tapi, akhirnya kita berdua jadi mikir dan berdiskusi. Saat itu, adanya baru telpon umum, ga megang gadget. Berangkat ke Bandung ga pamitan sama sahabat yang lain. Bagaiman kalau ada apa-apa dengan kita berdua, dan tinggal nama aja. Mana kita lagi keluyuran ga jelas? 😥 .

Akhirnya, setelah membayangkan berbagai kemungkinan, dua anak rumahan itu bergidik juga.

Apa ga nangis darah orang-orang yang cinta sama kita? Ya elah, siapa coba? *lebay*.

Setelah berpikir ulang, kegiatan kita yang tujuan awalnya mau ngamatin denyut kegiatan malam Bandung, jadi bubar jalan.

Hanya Penikmat Malam Dari Kejauhan

Yang awalnya mau berada di jalan hingga tengah malam, kita pun jadi berganti keluar masuk pelataran hotel, nyari penginapan yang pastinya sudah pada penuh, udah  jam 10-an malem. Mana bawaan cuma tas ransel gendong kecil doang. Barangkali kita berdua dikira gembel aneh, yang nyasar mau nyari penginapan. Haiiyaa.

Belum nyampai putus asa, akhirnya kita dapat kamar juga di Patrajasa Hotel, udah jam 11-an malem lewat. Itu juga dengan ditatap aneh sama resepsionisnya. Check in udah mau tengah malam, dua cewek kucel, datang jalan kaki, tamu hotel yang lain datang minimal pakai taxi. Dalam hati pada bergumam, “tenaang mba, kita numpang sampai jam 5 pagi aja kok 😆 “

Malam itu, kita istirahat sambil nyengir kuda.

Esoknya, setelah sholat Subuh, kita check out. Melanjutkan jalan-jalan  ke alun-alun dan ngubek-ngubek Bandung nyari produk murah meriah, tapi kreatif. Dapat sandal yang sampai sekarang masih disimpan *ga pernah dipake. Karena beli berdasarkan keunikannya aja*.

Itu sandal, kalau pas dilihat sekarang, pasti ingat pengalaman jalan-jalan nekad ke Bandung yang ga punya tujuan. Yang akhirnya keder sendiri menghadapi pergantian siang dan malem. Ah, Bandung Kota Kenangan bagi saya dan teman.

Setiap orang pasti punya cerita perjalanannya sendiri di sebuah kota. Bagaimana dengan mu temans? Kota mana yang membekas kenangan uniknya?

25 comments

  1. Pertamaxxx

    Kisahnya hampir sama ketika pertama kali saya ke Yogyakarta 🙂

    gak ngerti arah, eh akhirnya sekarang setiap sudut Jogja saya kenal, Alhamdulillah 🙂

    salam

    Suka

  2. wah, benar2 pengalaman yg tak terlupakan ya Salma dgn kenekatan yg luar biasa 🙂
    sekarang kalau ke bandung lagi, gak pakai sendal jepit dan ranselan lagi dong ya 😀
    salam

    Suka

  3. Sebagai orang Bandung yang jengah dengan hiruk pikuk kota bandung sendiri, saya mengucapkan terima kasih sudah berkunjung. hehehehe

    Hatur nuhun.

    Ralat dong Parahyangan, bukan parahiyangan

    Suka

  4. ah ada kenangan juga saya mbak di kota bandung..ckckckc
    kenangan yang indah di masa itu..tapi kini koq sepet banget ya kekeke

    Suka

  5. wuahh bandung emang jadi kenagan juga buat saya hihihi…
    kenangan masa lalu memang tidak apernah terlupakan yah mba… hihihi

    Suka

  6. Wahh seru ya…
    kota bandung kota asyik buat belanja.. heheh..
    murah abis…. lia klo kesana nginap rumah sodara mbak… kapan ya kesana lagi ^_^

    Suka

Tinggalkan Balasan ke ariefien Batalkan balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.